Perbedaan interpretasi objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga part 2 Full

Persoalan pengenaan pajak atas transaksi sewa lapangan olahraga seperti: sewa lapangan futsal, sewa lapangan badminton, sewa lapangan tenis, atau sewa lapangan olahraga lainnya, dianggap masih belum menemui titik terang yang jelas. Muncul perbedaan interpretasi dalam memandang objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga. Terdapat pihak yang menganggap bahwa transaksi sewa lapangan olahraga merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, sementara pihak lain memandang bahwa transaksi sewa lapangan olahraga bukan merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, melainkan objek pajak penghasilan pasal 23 atau PPh final PP 23/2018 untuk WP tertentu. 

Pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba memaparkan sudut pandang dari kedua belah pihak tersebut yang kemudian dapat disimpulkan untuk digunakan para pihak dalam mengambil keputusan. Penulis akan membagi kedua pihak dengan penjelasan sebagai berikut:

  • Pihak A - Pihak yang setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2
  • Pihak B - Pihak yang tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2

Argumentasi Pihak B

Dasar alasan pihak B tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 pasal 1 yang terakhir diubah ke Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017, karena dalam pasal tersebut merupakan positive list. Bunyi pasal 1 "Atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa: 

  1. tanah 
  2. rumah
  3. rumah susun
  4. apartemen
  5. kondonium
  6. gedung perkantoran
  7. toko 
  8. rumah toko 
  9. gudang dan 
  10. dan industri wajib dibayar Pajak Penghasilan" (PPh final pasal 4 ayat 2)

Karena lapangan olahraga tidak ada dalam list pasal 1 tersebut maka sewa lapangan olahraga termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008. 

Pihak B bukan tanpa alasan menganggap pasal tersebut merupakan positive list. Pertama, jika bukan positive list kenapa harus dijelaskan tanah dan bangunan berupa 10 list yang disebutkan diatas. Kedua, hal tersebut di kuatkan dengan histori peraturan terkait sebagaimana dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 pasal 1 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002 pasal 2, terdapat penambahan list yang dikeai pph final pasal 4 ayat (2). KEP-227/PJ/2002 sampai tulisan ini diterbitkan masih berlaku.

Bunyi pasal tersebut “Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final”. 

Jika bukan positive list kenapa harus ada penambahan kata “pertemuan termasuk bagiannya & rumah kantor” dalam pasal 1 dan 2. Seolah kalimat penjelas dalam bentuk list tersebut tidak bermakna. Dengan adanya penambahan kata-kata tersebut menguatkan bahwa pasal 1 PP 29/1996, KMK 394/1996 dan pasal 2 KEP 227/2002 merupakan positive list. Karena sewa lapangan olahraga juga tidak masuk dalam rincian pasal tersebut maka atas sewa lapangan olahraga bukan termasuk objek pajak pph final pasal 4 ayat 2, melainkan termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008.

Argumentasi Pihak A

Dasar yang digunakan pihak A dalam melihat objek pajak sewa lapangan olahraga adalah Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 (PP 34/2017) yang berbunyi “Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final”.

Hal tersebut pernah juga di tanyakan oleh salah satu netizen ke twitter resmi @kring_pajak dengan pertanyaan sebagai berikut: 

“kalau saya punya usaha penyewaan lapangan futsal, jenis pajak apa yang harus saya bayarkan? Terimakasih”

Dalam kesempatan yang ada kemudian @kring_pajak memberikan tanggapan: “HaI, Kak. terkait persewaan lapangan futsal akan dikenakan PPh Final 4 ayat (2) ya, Kak. Hal tersebut diatur dalam Nota Dinas yang diterbitkan tahun 2019. Mohon maaf untuk nomor aturan tersebut tidak bisa kami berikan dikarenakan merupakan aturan internal kami. Tks*Onie”.

Namun sepertinya beberapa orang yang ikut bertanya merasa belum puas dengan jawabannya. Karena fikus tidak memberikan jawaban dengan dasar hukum yang jelas. “Khawatir Yang Begini-Begini, Aturanya Seperti Polisi Sembunyi Di Balik Pohon Zaman Itu, Kl Mau Nilang Dan Menunggu Rakyat Salah Baru Di Keluarkan” sahut salah satu netizen.

“Sesuai penjelasan sebelumnya, Nota Dinas bersifat penegasan. Ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2017.” dijawab kembali oleh @kring_pajak.

Penulis juga belum menemukan argumentasi yang jelas dari fiskus untuk menjawab logika berfikirnya pihak B yang menganggap bahwa penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan yang di maksud adalah positive list (yang dikenakan pph final pasal 4 ayat 2 hanya yang tertera dalam pasal tersebut saja). Namun memang jika kita melihat dari PP 34/2017 pasal terkait persewaan tanah dan/atau Bangunan berubah menjadi  “persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan”. Dengan pasal tersebut tidak ada lagi perincian tanah dan bangunan, sehingga fiskus menganggap atas sewa lapangan olahraga merupakan objek pph pasal 4 ayat 2.

Jadi menurut kalian, transaksi sewa atas sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2 atau pph Pasal 23? Tuliskan tanggapan anda di kolom komentar ya. 

 

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
  • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996
  • Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017

Topik: Pajak sewa lapangan, dispute, PP 29/1996, KMK 394/1996, KEP 227/2002, UU 36/2008, PP 34/2017 PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 23

...

Awas tidak semua biaya dalam laporan keuangan komersial bisa dibebankan secara fiskal

Perusahaan selain harus memastikan pegawai-nya memahami proses pembuatan laporan keuangan tapi juga harus memastikan memahami ketentuan perpajakan. Karena dalam perpajakan terdapat perlakukan yang berbeda ketika memandang pengeluaran atau beban yang di lakukan oleh perusahaan. Sehingga bisa jadi terdapat beban yang sudah di akui oleh perusahaan dalam laporan keuangan komersial akan di koreksi dalam laporan SPT Tahunan. 

Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, terdapat beberapa biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, diantaranya sebagai berikut:

  1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
  3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, dengan syarat tertentu;
  4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
  5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (mulai tahun pajak 2022 DIHAPUS), kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  6. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
  7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan;
  8. Pajak Penghasilan;
  9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
  10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
  11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut.

Dampak koreksi fiskal

Perusahaan perlu tahu terkait dampak dari dilakukannya koreksi fiskal. Misalnya koreksi fiskal positif dari salah satu pos biaya pada laporan laba rugi. Jika biaya pada laporan laba rugi komersial dilakukan koreksi positif, artinya biaya tersebut tidak boleh dibiayakan atau tidak boleh dijadikan pengurang secara fiskal. Sehingga pada laporan fiskal, laba usaha akan meningkat. Apabila laba usaha meningkat maka pajak yang terhutang juga akan meningkat.

Mungkin sebagian dari anda masih bertanya-tanya, kenapa biaya yang di keluarkan perusahaan tidak boleh di biayakan walaupun transaksi itu benar-benar terjadi dan didukung dengan dokumen transaksi yang jelas? Karena memang perpajakan mengatur biaya yang boleh di biayakan atau dikurangkan adalah biaya yang mempunyai hubungan dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan yang merupakan objek pajak.

Hal tersebut tentu untuk mengatur agar perusahaan tidak melakukan kecurangan seperti: memperbesar biaya yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau 3M, yang berdampak pada mengecilnya laba rugi usaha. Jika laba usaha mengecil, tentu pajak yang terhutang juga akan semakin kecil.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
...

Perbedaan interpretasi objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga part 1

Persoalan pengenaan pajak atas transaksi sewa lapangan olahraga seperti: sewa lapangan futsal, sewa lapangan badminton, sewa lapangan tenis, atau sewa lapangan olahraga lainnya, dianggap masih belum menemui titik terang yang jelas. Muncul perbedaan interpretasi dalam memandang objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga. Terdapat pihak yang menganggap bahwa transaksi sewa lapangan olahraga merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, sementara pihak lain memandang bahwa transaksi sewa lapangan olahraga bukan merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, melainkan objek pajak penghasilan pasal 23 atau PPh final PP 23/2018 untuk WP tertentu. 

Pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba memaparkan sudut pandang dari kedua belah pihak tersebut yang kemudian dapat disimpulkan untuk digunakan para pihak dalam mengambil keputusan. Penulis akan membagi kedua pihak dengan penjelasan sebagai berikut:

  • Pihak A - Pihak yang setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2
  • Pihak B - Pihak yang tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2

Argumentasi Pihak B

Dasar alasan pihak B tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 pasal 1 yang terakhir diubah ke Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017, karena dalam pasal tersebut merupakan positive list. Bunyi pasal 1 "Atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa: 

  1. tanah 
  2. rumah
  3. rumah susun
  4. apartemen
  5. kondonium
  6. gedung perkantoran
  7. toko 
  8. rumah toko 
  9. gudang dan 
  10. dan industri wajib dibayar Pajak Penghasilan" (PPh final pasal 4 ayat 2)

Karena lapangan olahraga tidak ada dalam list pasal 1 tersebut maka sewa lapangan olahraga termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008. 

Pihak B bukan tanpa alasan menganggap pasal tersebut merupakan positive list. Pertama, jika bukan positive list kenapa harus dijelaskan tanah dan bangunan berupa 10 list yang disebutkan diatas. Kedua, hal tersebut di kuatkan dengan histori peraturan terkait sebagaimana dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 pasal 1 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002 pasal 2, terdapat penambahan kata-kata yang terhutang pph final (pasal 4 ayat 2). KEP-227/PJ/2002 sampai tulisan ini diterbitkan masih berlaku.

Bunyi pasal tersebut “Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final”. 

Jika bukan positive list kenapa harus ada penambahan kata “pertemuan termasuk bagiannya & rumah kantor” dalam pasal 1 dan 2. Seolah kalimat penjelas dalam bentuk list tersebut tidak bermakna. Dengan adanya penambahan kata-kata tersebut menguatkan bahwa pasal 1 PP 29/1996, KMK 394/1996 dan pasal 2 KEP 227/2002 merupakan positive list. Karena sewa lapangan olahraga juga tidak masuk dalam rincian pasal tersebut maka atas sewa lapangan olahraga bukan termasuk objek pajak pph final pasal 4 ayat 2, melainkan termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008.

Argumentasi Pihak A

Dibahas pada tulisan selanjutnya.

 

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
  • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996
  • Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Topik: Pajak sewa lapangan, dispute, PP 29/1996, KMK 394/1996, KEP 227/2002, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 23

...

Apakah konser musik kena PPN?

Konser musik sering kali dijadikan sebagai sarana hiburan yang menarik. Bahkan di indonesia konser musik banyak diminati beragam kalangan dari anak-anak, remaja, sampai orangtua. Tapi tahukah anda bahwa kegiatan hiburan seperti konser musik juga telah memberikan kontribusi pada penerimaan negara. Karena atas kegiatan kesenian dan hiburan tersebut akan ada pajak yang harus di bayar oleh EO dari penjualan tiket.

Oh iya jangan sampai salah, tiket konser musik itu tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) karena bukan termasuk objek PPN. Walaupun tidak dikenai PPN, bukan berarti bebas dari pajak.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dalam pasal 4 ayat 2 dijelaskan bahwa Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) akan dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, dan objek pajak PBJT salah satunya adalah jasa kesenian dan hiburan (konser musik). Tarif pajak konser musik tergantung dari kebijakan masing-masing daerah. Seperti contoh di DKI Jakarta, menurut Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2015 tarif pajak hiburan atas konser tergantung dari skala konser yang diselenggarakan.  

  • Untuk konser skala lokal dikenakan tarif 0%
  • Untuk konser skala nasional dikenakan tarif 5%
  • Untuk konser skala internasional dikenakan tarif 15%

Kalau di jakarta bakal ada konser musik coldplay, sudah tahu kan berapa persen kontribusi pajak yang akan diterima pemerintah daerah? Semoga tulisan ini bermanfaat ya. 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
  • Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2015
...

Cara menghemat pajak bagi pemilik perusahaan

Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, serta digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sifat pajak yang memaksa dan tidak mendapat timbal balik secara langsung itu yang membuat wajib pajak harus memikirkan bagaimana cara untuk bisa menghemat pajak khususnya bagi pemilik perusahaan. 

Seorang pemilik usaha tentu menginginkan pendapatan yang besar dari usaha yang di jalankan. Namun pendapatan yang besar juga akan membawa konsekuensi terutang pajak penghasilan yang besar. Apalagi lapisan tarif pajak untuk orang pribadi menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021 sudah sampai 35%. 

Jika anda adalah seorang pemilik perusahaan yang optimis dengan pendapatan besar maka perlu mengetahui cara menghemat pajak bagi pemilik perusahaan. salah satunya dengan mengambil penghasilan dari laba ditahan (dividen).

Terkadang pemilik perusahaan juga terlibat aktif sebagai pegawai di perusahaan dengan gaji yang mentereng tinggi. Sehingga pajak yang terutang juga tinggi. Sebagai contoh: dasar penghasilan kena pajak pemilik sebagai pegawai selama setahun adalah 600 juta. atas penghasilan tersebut tentu akan terutang pajak dengan tarif berlapis sampai tarif 30%. Berikut rincian perhitungannya:

  • 60 juta x 5% = 3 juta
  • 190 juta x 15% = 28,5 juta
  • 250 juta x 25% = 62,5 juta
  • 100 juta x 30% = 30 juta

Total pajak yang terutang adalah sebesar 124 juta (tidak final).

Padahal jika pemilik tidak mengambil penghasilan dalam bentuk gaji sebesar 600 juta, tapi mengambil laba ditahan atas usahanya dalam bentuk dividen maka pajak yang terutang akan jauh lebih kecil. Misal pemilik mengambil dalam bentuk dividen sebesar 600 juta, maka atas dividen tersebut akan terutang pph pasal 4 ayat 2 dengan tarif 10% atau sebesar 60 juta (bersifat final) saja. Jika menggunakan pola ini artinya pemilik bisa menghemat pajak sekitar 64 juta (124 juta - 60 juta).

Itulah salah satu cara menghemat pajak bagi pemilik perusahaan. Apakah anda tertarik untuk menghemat pajak dengan cara legal tanpa melanggar peraturan perpajakan yang berlaku? Saatnya anda di dampingi konsultan berpengalaman. Kami siap membantu anda dalam melakukan manajemen pajak untuk menghemat pajak perusahaan dengan cara legal. Kontak kami disini

 

Topik: Menghemat pajak, manajemen pajak, UU HPP 7/2021, Dividen

...

Jasa laporan keuangan dan pajak di lampung

Laporan keuangan dan pajak merupakan laporan yang harus di siapkan oleh perusahaan maupun orang pribadi yang menjalankan usaha. Dengan adanya laporan keuangan, usaha dapat terkontrol nilai penjualan, biaya usaha, aset, hutang sampai dengan perubahan modalnya. Selain itu pihak yang menjalankan usaha harus mendaftarkan diri ke wilayah kantor pajak dimana usaha itu di jalankan untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). 

Konsekuensi menjalankan usaha salah satunya harus membuat laporan perpajakan yaitu laporan SPT masa maupun laporan SPT tahunan. Kabar baiknya sudah dibuka jasa laporan keuangan dan pajak di lampung dengan harga mulai 500 ribu saja perbulan. Bagi warga lampung yang ingin menggunakan jasa laporan keuangan dan pajak di  lampung dapat menggubungi chatpajak.com

Apa yang akan di dapatkan jika memesan jasa laporan keuangan?
Anda akan mendapatkan laporan sebagai berikut:

  • Data Jurnal Entri
  • Buku Besar
  • Laporan Neraca
  • Laporan Laba Rugi
  • Laporan Perubahan Ekuitas
  • Daftar Aset dan Penyusutan
  • Arsip Dokumen Transaksi
  • Dll

Apa yang akan di dapatkan jika memesan jasa laporan pajak?
Anda akan mendapatkan laporan sebagai berikut:

  • Rekapitulasi Analisa Transaksi Aspek Pajak
  • Perhitungan Pajak Terhutang
  • Kertas Kerja Perpajakan
  • Laporan SPT Masa/Tahunan
  • Dokumen Bukti Potong
  • Arsip Dokumen Perpajakan
  • Dll

Untuk melihat daftar harga lengkapnya bisa melalui menu layanan lalu pilih paket atau klik disini

Selain area lampung, kami juga melayani jasa laporan keuangan dan pajak di seluruh wilayah indonesia secara online. Beberapa wilayah bisa di lakukan secara offline seperti: jadebek dan lampung. Semoga berita ini bermanfaat.

...