Hasil untuk category "KUP"

Redefinisi Pajak - Menuju Definisi yang Lebih Substansial dan Realistis

Ketika kita berbicara tentang pajak, seringkali yang muncul adalah wacana tentang kewajiban dan paksaan. Namun, apakah definisi pajak yang ada saat ini sudah cukup mencerminkan realitas hubungan hukum yang sebenarnya antara wajib pajak dan negara? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat berbagai permasalahan dalam implementasi sistem perpajakan di Indonesia.

Definisi pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Sekilas, definisi ini tampak komprehensif dan aspiratif. Namun, jika kita telaah lebih dalam, terdapat beberapa kelemahan fundamental yang perlu dipertimbangkan.

Masalah pertama terletak pada frasa "bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Meskipun terdengar mulia dan sesuai dengan cita-cita negara, frasa ini mengandung ambiguitas yang berpotensi menimbulkan masalah. Apa parameter objektif untuk mengukur "kemakmuran rakyat"? Bagaimana kita menilai apakah pajak yang dipungut benar-benar telah digunakan untuk kemakmuran tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab karena kemakmuran adalah konsep yang sangat relatif dan subjektif.

Lebih dari itu, mencantumkan "kemakmuran rakyat" dalam definisi pajak sebenarnya redundan. Mengapa? Karena mensejahterakan rakyat sudah menjadi kewajiban konstitusional negara. Dengan demikian, semua fungsi negara, termasuk pemungutan pajak, secara inheren sudah ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Mencantumkannya kembali dalam definisi pajak justru menciptakan redundansi yang tidak perlu.

Kelemahan kedua ada pada frasa "dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung." Kalimat ini menciptakan persepsi bahwa wajib pajak memberikan sesuatu kepada negara tanpa mendapat sesuatu yang berarti. Persepsi ini kontraproduktif dalam membangun kesadaran kepatuhan membayar pajak. Dalam kenyataannya, wajib pajak mendapat berbagai "imbalan" berupa layanan publik, infrastruktur, perlindungan hukum, dan berbagai fasilitas lainnya yang disediakan negara sekalipun belum pernah berkontribusi membayar pajak. Menekankan kata "tidak mendapat imbalan" justru memperkuat stereotype negatif tentang pajak.

Masalah ketiga adalah penggunaan frasa "bersifat memaksa." Dalam sistem hukum modern, semua kewajiban hukum pada dasarnya bersifat mengikat berdasarkan undang-undang. Menekankan aspek "memaksa" dalam definisi pajak memberikan konotasi negatif yang tidak perlu dan dapat mengurangi legitimasi moral sistem perpajakan.

Melihat berbagai kelemahan tersebut, Nurtiyas yang merupakan seorang praktisi dan akademisi perpajakan, mengusulkan redefinisi pajak yang lebih substansial dan realistis. Menurut Nurtiyas, "Pajak adalah kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak, yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan."

Redefinisi ini fokus pada esensi hukum pajak tanpa embel-embel yang tidak operasional. Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak. Tiga elemen ini—sifat kontributif, basis legalitas, dan subjek hukum.

Definisi ini juga menciptakan hubungan timbal balik yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan. Frasa "yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan" memberikan perlindungan yang konkret bagi wajib pajak. Kepastian hukum di sini mencakup prediktabilitas peraturan, konsistensi penerapan, transparansi prosedur, dan jaminan hak prosedural. Sementara itu, keadilan mencakup proporsionalitas beban pajak, equality before the law, due process dalam penagihan, dan non-diskriminasi dalam pelayanan.

Yang menarik dari redefinisi ini adalah penggunaan kata "diwujudkan." Kata ini mengimplikasikan bahwa kepastian hukum dan keadilan bukan sekadar tujuan atau janji, tetapi sesuatu yang harus secara aktif direalisasikan dalam setiap proses perpajakan. Ini menciptakan akuntabilitas yang lebih kuat bagi otoritas pajak untuk benar-benar memastikan bahwa setiap aspek perpajakan dilaksanakan dengan kepastian hukum dan keadilan.

Berbeda dengan "kemakmuran rakyat" yang abstrak dan sulit diukur, kepastian hukum dan keadilan dapat dievaluasi melalui berbagai indikator yang objektif. Misalnya, tingkat konsistensi dalam penerapan peraturan, waktu penyelesaian proses administrasi, kualitas pelayanan kepada wajib pajak, dan efektivitas mekanisme pengaduan. Dengan demikian, redefinisi ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi wajib pajak, tetapi juga menciptakan parameter yang jelas untuk mengevaluasi kinerja sistem perpajakan.

Bagi wajib pajak, definisi baru ini memberikan fondasi hukum yang lebih kuat untuk menuntut kepastian hukum dalam setiap proses perpajakan dan memperoleh perlakuan yang adil serta non-diskriminatif. Bagi otoritas pajak, redefinisi ini memberikan panduan yang jelas untuk mengembangkan sistem administrasi yang dapat diprediksi dan memastikan konsistensi dalam penerapan peraturan.

Redefinisi pajak yang diusulkan Nurtiyas ini bukan sekadar perubahan semantik, tetapi merupakan pergeseran paradigma mendasar. Dari definisi yang bersifat retoris dan aspiratif, menuju definisi yang lebih honest, realistic, dan actionable. Definisi ini tidak menjanjikan yang tidak dapat dipenuhi, tetapi menjamin yang dapat dituntut secara hukum.

Dalam era di mana kepercayaan terhadap institusi publik menjadi isu yang krusial, redefinisi pajak menjadi langkah penting untuk membangun social contract yang lebih sehat antara negara dan warga negara. Saatnya kita bergerak dari pajak sebagai "kontribusi untuk kemakmuran" yang abstrak menuju pajak sebagai "kontribusi dengan kepastian hukum dan keadilan" yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini

...

Apa konsekuensi peredaran bruto diatas 4,8 milyar setahun tapi tidak melapor untuk dikukuhkan menjadi PKP

Apa konsekuensi peredaran bruto (omset) diatas 4,8 milyar setahun tapi perusahaan tidak mau melapor untuk dikukuhkan menjadi PKP?

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). 

Artinya, Hal tersebut diatas dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Karena perusahaan sudah memiliki peredaran bruto lebih dari 4,8 milyar dalam setahun maka wajib melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, jika tidak melapor maka DJP akan mengukuhkan PKP secara jabatan sejak orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 

Berdasarkan pasal 2 ayat (4a), Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Misalnya perusahaan pada bulan agustus 2022 memiliki omset 4,8 milyar dan tercatat dalam laporan keuangan 2022 omset sampai dengan 31 desember 2022 adalah 10 milyar, namun omset 2023 turun drastis dan sampai dengan november 2023 omset baru mencapai 4,5 milyar sehingga perusahaan juga belum melapor untuk di kukuhkan sebagai PKP. Atas kondisi tersebut DJP dapat mengukuhkan sebagai PKP sejak bulan agustus 2022 karena telah memenuhi syarat untuk di kukuhkan sebagai PKP dan akan dihitung PPN yang seharusnya dipungut dan terhutang sejak agustus 2022 sampai dengan November 2023. Selain itu perusahaan juga akan mendapat sanksi bunga sebagaimana tertuang dalam pasal 13 ayat (2) UU KUP dan sanksi administrasi berupa denda bedasarkan pasal 14 ayat (4) UU KUP karena tidak menjalankan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.

Kesimpulan

Konsekuensi tidak melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP:

  • Dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan
  • Dihitung PPN Terutang paling lama 5 tahun sebelum dikukuhkan sebagai PKP
  • Sanksi bunga (Pasal 13 ayat (2) UU KUP) 
  • Sanksi administrasi berupa denda (Pasal 14 ayat (4) UU KUP)

 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang KUP
  • PMK 197/PMK.03/2013
...

Jika ingin memungut PPN apakah harus dikukuhkan menjadi PKP?

Pasal 2 ayat (2) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.


Penjelasan:

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Terdapat pengusaha kecil yang tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 TENTANG BATASAN PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI. 

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. 

Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d 197/PMK.03/2013, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) tidak berlaku apabila pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Artinya pengusaha kecil yang omsetnya dibawah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), dapat mengajukan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sehingga dengan menjadi pengusaha kena pajak, pengusaha kecil dapat memungut PPN.

...

Apakah Semua Orang Indonesia Harus Memiliki NPWP?

Pasal 2 ayat (1) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Penjelasan: 

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. 

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak dalam negeri adalah: 

  1. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang:
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
  4. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak luar negeri adalah: 

  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
  2. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
  4. tempat tinggal;
  5. pusat kegiatan utama;
  6. tempat menjalankan kebiasaan;
  7. status subjek pajak; dan/atau
  8. persyaratan tertentu lainnya

yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; (Pasal 2 sampai Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021)

Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1a) UU KUP Nomor 7 Tahun 2021, Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.

Sehingga dengan demikian, setiap orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia yang sudah menerima atau memperoleh penghasilan WAJIB mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk diberi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Ketentuan lebih lanjut tentang pendaftaran NPWP dan penghapusan NPWP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Tentang TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK.

...

Apakah Kuasa Wajib Pajak Harus Konsultan Pajak?

Berdasarkan pasal 2 angka 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Bab II Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua.

Berdasarkan pasal 51 ayat (1) Peraturan Pemerintan Nomor 50 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Bab VIII Kuasa Wajib Pajak dan Rahasia Jabatan, Wajib Pajak dapat menunjuk kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. konsultan pajak;
  2. pihak lain; atau
  3. keluarga.

Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali keluarga. Dijelaskan bahwa: “Yang dimaksud dengan "kompetensi tertentu" antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.”

 

Dasar Hukum:

  • UU KUP (UU Nomor 7 Tahun 2021)
  • PP Nomor 50 Tahun 2022

 

...