Perbedaan Pembukuan dan Pencatatan Dalam Perpajakan

Menurut Pasal 1 angka 29 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Kata kunci dari pembukuan yaitu wajib pajak di minta untuk menyusun laporan keuangan secara komersil dan fiskal. Dalam menyusun laporan keuangan komersil, WP dapat menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK EMKM, SAK ETAP/EP, SAK Umum, SAK Internasional). Sementara untuk keperluan perpajakan, WP dapat melakukan rekonsiliasi fiskal terlebih dahulu untuk menghitung laba usaha fiskal.

Komponen laporan keuangan terdiri dari:

  • Laporan Laba Rugi
  • Laporan Perubahan Ekuitas
  • Laporan Posisi Keuangan
  • Laporan Arus Kas
  • Catatan Atas Laporan Keuangan

Sementara itu pencatatan menurut Pasal 28 ayat 9 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 merupakan kegiatan mengumpulkan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Jadi berbeda dengan pembukuan, dalam pencatatan WP hanya diminta untuk mencatat penghasilan/peredaran bruto/penghasilan bruto saja. Pencatatan dilakukan secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto.

Bagi rekan-rekan yang merasa kesulitan dalam menyusun laporan keuangan ataupun pencatatan usaha, bisa menghubungi kami untuk konsultasi maupun untuk melakukan pelatihan berkelanjutan. 

...

Aspek Pajak Transaksi Sewa Kantor

Transakasi sewa kantor merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 

“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: 

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; …”

Terkait dengan tarif, dasar pengenaan pajak (DPP), kewajiban pihak pemotong, dan teknis lainnya di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 Tentang PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Tarif 10% dari jumlah bruto sewa kantor. (Pasal 4 ayat (1) PP 34/2017)

Jumlah bruto yang di maksud adalah semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh Penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. (Pasal 4 ayat (2) PP 34/2017)

PPh Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% atas transaksi sewa kantor di potong oleh pihak penyewa.

Pemotong pajak meliputi: 

badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), kerja sama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan

Dalam hal Penyewa bukan sebagai pemotong pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan. (Pasal 3 PP 34/2017)

 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Pajak Penghasilan
  • PP Nomor 34 Tahun 2017
...

Penghasilan ceramah ustadz tetap harus dipotong pajak

Min. apakah perusahaan perlu memotong pajak penghasilan ustadz yang memberikan ceramah. Misal mau di kasih 2 Juta ?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 21 ayat 1 huruf a “Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh: pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;”

Besarnya tarif yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat 1 huruf a untuk wajib pajak orang dalam negeri yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 adalah sebesar 5%. Jika ustadz tersebut merupakan bukan pegawai, maka dasar perhitungan penghasilannya menjadi 50% dari penghasilan atau peredaran bruto sebagaimana diatur dalam PER-16/PJ/2016 Pasal 9 ayat 1 (c) sehingga formula perhitungannya menjadi sebagai berikut:

50% x Penghasilan bruto x 5%

Misal PT XYZ akan membayar ustadz sebesar 2 Juta untuk ceramah. Maka 2 Juta itu merupakan objek PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh perusahaan. Perhitungan nilai yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

50% x 2.000.000 x 5% = 50.000

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • PER-16/PJ/2016
...

Mendirikan PT Resmi Untuk Keberlangsungan Usaha Jangka Panjang

Mendirikan PT Resmi dan legal hari ini bukan lagi menjadi masalah rumit. Pasalnya pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja telah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk dapat melegalkan usahanya dengan mendirikan PT Perorangan. PT Perorangan dapat di dirikan hanya dengan satu orang saja. Hal tersebut tentu akan sangat memberikan kemudahan untuk pelaku usaha kecil yang ingin melegalkan usaha yang dijalankan.

Bagi anda yang ingin mendirikan PT Peroranngan cukup menyiapkan data berikut:

  1. KTP Pemilik
  2. NPWP Pemilik
  3. Email Pemilik/Perusahaan
  4. No. Whatsapp
  5. KBLI yang akan dipilih
  6. Data Perusahaan (Seperti: Alamat, luas tempat, dll)

Namun bagi anda yang tidak ingin di repotkan dengan pengurusan pendirian PT, anda bisa menggunakan layanan pembuatan PT dari mitra kami Legalyn Konsultan. Hanya dengan Rp500.000 usaha anda akan di legalkan dengan cepat dan 100% resmi. 

Anda akan mendapatkan:

  1. Pengecekan Nama Perusahaan
  2. Pendirian PT (Resmi dari Kemenkumham)
  3. Sertifikat Pendaftaran (Resmi dari Kemenkumham)
  4. NPWP Perusahaan
  5. Nomor Induk Berusaha (NIB)
  6. Akun OSS RBA
  7. Gratis Aplikasi Akuntanmu.com (Selama 3 Bulan)
  8. Gratis Konsultasi
  9. Dll

Mari tumbuh kembang bersama kami dengan melegalkan usaha anda di tempat yang tetap (Resmi dan Terdaftar)

#PastiCepat, #PastiJadi, #PastiResmi

...

Pajak Royalti Sudah Turun Kok Masih Dipotong 15%? Ini penyebabnya!

Selamat siang. Saya baru terjun menjadi penulis harian lepas di tahun 2023. Baru-baru ini saya mendengar bahwa pajak royalti telah turun menjadi 6%, namun kenyataannya atas royalti yang saya terima masih dipotong PPh sebesar 15% oleh pihak penerbit. Mengapa demikian? Apakah ada peraturan yang dapat menjadi rujukan agar pajak royalti saya dapat dipotong 6%? 

 

Terimakasih atas pertanyaan Anda.

Pada dasarnya, profesi penulis merupakan pekerjaan bebas yang dapat menjadi objek Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN). Hal tersebut tertuang dalam PER 17/PJ/2015. Oleh karenanya, merujuk pada peraturan tersebut dasar pengenaan pajak penghasilan pada akhir tahun menjadi lebih kecil dari jumlah brutonya sesuai tarif yang terlampir dalam peraturan tersebut.

Namun, terjadi perdebatan yang memunculkan beda pendapat dikarenakan objek yang dikenai PPh adalah royalti. Dalam UU Nomor 36 tahun 2008, royalti masuk sebagai objek yang dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto wajib pajak. Artinya, penghasilan berupa royalti tidak bisa diakumulasikan dengan penghasilan pekerjaan bebas yang menjadi objek NPPN. 

Hal ini akhirnya memberatkan wajib pajak yang melakukan pekerjaan bebas termasuk penulis lantaran nilai tarif pajak yang dikenakan cukup besar, berbeda dengan pekerjaan bebas lainnya seperti penghasilan dokter, akuntan, notaris, dsb. Selain itu, PPh Pasal 23 yang telah dipotong pemberi penghasilan akan menjadi cicilan pembayaran pajak yang dapat dikreditkan oleh WP pada akhir tahun. 

Akibat tarif yang besar ini, berdampak bagi wajib pajak yang tidak memiliki omzet yang terlalu besar sebab dapat menimbulkan lebih bayar pada SPT Tahunan wajib pajak. Kemudian, proses pengembalian atas kelebihan bayar pajak juga membutuhkan usaha yang tidak mudah. Inilah yang menjadi keluh kesah wajib pajak yang menerima royalti.

Kabar baiknya, belum lama ini pemerintah menerbitkan peraturan PER 1/PJ/2023, yang dapat menjadi solusi dari permasalahan diatas. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa penghasilan berupa royalti yang diterima wajib pajak orang pribadi yang menggunakan NPPN sebagai perhitungan PPh, dapat dimasukkan sebagai penghasilan dari pekerjaan bebas. Jumlah bruto yang diperhitungkan adalah 40% dari penghasilan royalti yang dibayarkan. Adapun tarif pemotongannya adalah 6%, lebih rendah dari tarif PPh Pasal 23 15%. 

Beleid ini berlaku mulai 16 Maret 2023. Mekanisme untuk dapat menggunakan tarif ini, wajib pajak harus menyampaikan Bukti Penerimaan Surat (BPS) pemberitahuan penggunaan NPPN ke Direktorat Jendral Pajak. Namun, untuk dapat menggunakan NPPN, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain, merupakan wajib pajak orang pribadi yang memiliki usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan penghasilan di bawah 4,8 miliar dalam setahun. Selain itu, wajib pajak harus menyampaikan pemberitahuan penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN) kepada DJP dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak bersangkutan.

Mengenai pertanyaan yang Saudara ajukan diatas, yang perlu diperhatikan adalah apakah Saudara telah menyampaikan surat pemberitahuan penggunaan NPPN kepada DJP? Karena sebenarnya tarif 6% itu hanya dapat digunakan jika wajib pajak menerapkan NPPN sebagai perhitungan pajak penghasilannya. Apabila tidak menggunakan NPPN, maka pemotongan atas penghasilan royalti tetap akan dilakukan sesuai dengan tarif Pasal 23 yaitu 15%. 

Semoga dapat dimengerti.

Dasar Hukum: 

  • PER 17/PJ/2015
  • PER 1/PJ/2023
  • UU Nomor 36/2008
...