Apakah denda atau pinalti termasuk objek PPN dan PPh?

Pak mau tanya. Jadi perusahaan kami ada proyek konstruksi. Dalam kontrak dijelaskan kalau terlambat penyelesaian pekerjaan akan ada denda atau pinalti. Karena kami terlambat, pembayaran yang kami terima jadi tidak 100%. Atas denda atau pinalti tersebut apakah harus di terbitkan FP dan apa kami harus memotong PPh Pasal 23? (ilham)

Terima kasih kami ucapkan atas pertanyaan bapak ilham terkait denda atau pinalti.

Berdasarkan Surat Jendral Pajak Nomor S-380/PJ.32/1990 tentang PPN atas Sanksi/Denda di tegaskan sebagai berikut:

  • 1. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 huruf n Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, Dasar Pengenaan Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian. Yang dimaksud dengan harga jual atau penggantian yaitu nilai berupa uang yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual/pemberi jasa kepada pembeli/penerima jasa atas penyerahan barang atau jasa. 
  • 2. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, karena denda yang dikenakan kepada pembeli atau penerima jasa karena keterlambatan pembayaran dari waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian tidak merupakan harga yang seharusnya diminta maka bukan bagian dari Dasar Pengenaan Pajak sehingga atas pengenaan denda tersebut tidak terutang PPN. Demikian juga kebalikannya apabila terjadi klaim dari pembeli/penerima jasa yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pembayaran karena keterlambatan penyerahan BKP/JKP, maka Dasar Pengenaan Pajak adalah tetap Harga Jual/Penggantian dan tidak dikurangi dengan besarnya klaim tersebut.

Berdasarkan  Surat Jendral Pajak Nomor S-150/PJ.33/1995 di tegaskan sebagai berikut:

  • 1. Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a 2) dan Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, bahwa pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. 
  • 2. Di dalam surat Saudara, Saudara menyatakan bahwa PT X melakukan penjualan barang dan jasa secara kredit jangka pendek kepada langganan-langganannya. Apabila pembeli tidak melunasi kewajibannya pada waktunya, PT X mengenakan denda keterlambatan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan antara PT X dengan pembeli. Kesepakatan ini umumnya di dokumentasikan pada kontrak jual beli atau dokumen Purchase Order atau kadang-kadang hanya tertera pada faktur penjualan yang diterbitkan oleh PT X. 
  • 3. Oleh karena denda keterlambatan pembayaran dikaitkan dengan perjanjian jual-beli suatu barang dan jasa, maka pembebanan denda oleh PT X kepada pelanggannya bukan merupakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 maupun Pasal 26 Undang-Undang PPh, dan bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 atau Pasal 26.

Jika melihat pada dua Surat Direktur Jendral Pajak diatas maka dapat disimpulkan bahwa denda atau pinalti bukan termasuk objek PPN dan bukan termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23. Sehingga atas denda tersebut tidak perlu di terbitkan Faktur Pajak dan tidak perlu di potong pph pasal 23.

 

Dasar Hukum:

...

Pajak masukan dari transaksi pasang AC ini tidak dapat di kreditkan

Izin bertanya gan. Salah satu pengurus kantor kami memasang beberapa AC di rumahnya, kemudian di bayar oleh kantor kami. Nah kami dapet tagihan plus PPN tuh. Atas ppn itu bisa di kreditkan gak ya? Riko - Lampung

Terima kasih atas pertanyaan bapak Riko (Lampung) melalui chatpajak.com

Kami ingin sampaikan bahwa tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan. Salah satu pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah dari pengeluaran yang tidak ada hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Karena pembelian atau pemasangan AC yang ditanggung oleh kantor bapak tersebut adalah untuk keperluan pribadi salah satu pengurus kantor dan tidak ada hubungan langsung dengan kegiatan usaha, maka pajak masukan atas transaksi pemasangan AC tersebut tidak dapat dikreditkan. 

Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009,  terdapat beberapa pengeluaran yang pajak masukannya tidak dapat di kreditkan, pak Riko bisa memperhatikan beberapa list berikut ini:

  • a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  • c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
  • d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • e. dihapus;
  • f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  • g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
  • h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
  • i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
  • j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).

Selain atas transaksi pemasagan AC tersebut pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, atas pengeluaran seluruh biaya pemasangan AC tersebut juga tidak dapat di bebankan secara fiskal. Karena beban tersebut untuk kepentingan pribadi pengurus dan tidak ada hubungannya dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Sehingga perusahaan harus melakukan koreksi fiskal positif atas biaya pemasangan AC untuk pribadi pengurus. Hal tersebut di atur dalam Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008. 

 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Topik: Pajak masukan, PM tidak bisa dikreditkan, UU 42/2009, UU 36/2008

...

Mengupas Tentang Natura di PP 55 2022

Sejak diterbitkannya aturan tentang pajak natura yang kini telah diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Isu-isu tentang natura yang kini telah disebutkan sebagai “objek pajak” menjadi topik hangat yang tidak habis dibahas oleh netizen.   

Untuk sebagian wajib pajak yang ingin mengetahui bagaimana perlakuan perpajakan terhadap natura dan kenikmatan, mari simak penjelasan berikut.

Pahami Perbedaan Natura dan Kenikmatan

Dalam PP 55/2022 dijelaskan bahwa imbalan dalam bentuk “natura” merupakan imbalan atau penggantian dalam bentuk “barang selain uang”. Imbalan ini dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima sebagai bentuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa. Barang yang dialihkan tersebut dinilai berdasarkan nilai pasar.

Sedangkan imbalan dalam bentuk “kenikmatan” merupakan penggantian atau imbalan dalam bentuk “hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan”. Adapun fasilitas dan/atau pelayanan yang diberikan pemberi atau aktiva pihak ketiga disewa dan/atau dibiayai pemberi. 

Sebagai contoh, dalam perusahaan terdapat fasilitas berupa mobil dinas atau rumah dinas untuk karyawan atau direktur. Jika dilihat dari ketentuan sebelum UU HPP ini terbit, fasilitas tersebut bukan merupakan objek pajak dan tentunya tidak perlu dilakukan pemotongan pajak. Namun, setelah diterbitkannya UU HPP yang diperbaharui oleh PP 55/2022 fasilitas tersebut merupakan objek pajak yang nantinya akan masuk ke dalam komponen PPh Pasal 21 karyawan. 

Dasar Hukum Pajak Natura

Sebelum masuk pada aturan yang mendasari ditetapkannya pajak natura, sebagian wajib pajak mungkin bertanya-tanya mengapa pemerintah menjadikan natura sebagai objek pajak? Umumnya, pengenaan pajak natura/kenikmatan ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan perlakuan pajak antara kompensasi atau penghasilan yang diterima karyawan dalam bentuk tunai dan non-tunai. Ini disebabkan karena komponen gaji atau upah dalam bentuk tunai menjadi penghasilan yang dikenai pajak penghasilan bagi si penerima serta menjadi biaya pengurang bagi si pemberi kerja (taxable-deductible). Namun, untuk natura/kenikmatan karena bukan merupakan objek pajak maka tidak dikenai pajak penghasilan bagi si penerima dan tidak dapat menjadi biaya pengurang bagi si pemberi kerja. Adapula seperti pemberian barang endorstment kepada influencer yang nilai cukup besar juga menjadi pertimbangan, mengingat hal tersebut telah menjadi tambahan ekonomis bagi influencer. Oleh karenanya, permerintah akhirnya mengubah aturan natura menjadi objek pajak demi terwujudnya prinsip keadilan. Ketentuan mengenai natura sebagai objek pajak dituangkan dalam Pasal 4 Ayat 1 huruf (a) UU HPP dan diperinci lagi dalam PP 55/2022 pada 20 Desember 2022. 

           “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan...”

Merujuk pada peraturan tersebut, maka mulai tahun 2022 penerima penghasilan (WPOP) wajib melaporkan sendiri natura/kenikmatan dalam SPT Tahunannya. Dan mulai tahun berikutnya, pelaporan pajak natura/kenikmatan akan dilakukan oleh perusahaan selaku pemberi penghasilan yang akan dimasukkan ke dalam pemotongan PPh Pasal 21 karyawan. 

Namun, yang masih menjadi pertimbangan adalah belum adanya kepastian mengenai pengklaifikasian objek natura/kenikmatan. Apabila kita kaji lagi dalam PP 55/2022 Pasal 24, pasal tersebut hanya menjelaskan tentang rincian dari pengecualian objek natura/kenikmatan yang isinya antara lain:

  1. makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan atau minuman bagi seluruh pegawai
  2. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu
  3. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan
  4. natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau anggaran pendapatan dan belanja desa; atau 
  5. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Hal ini menandakan bahwa PP 55/2022 hanya menjelaskan rincian dari pendekatan negative list. Padahal aturan positive list juga dibutuhkan untuk mengetahui objek pasti dari pemajakan natura. Jika hanya mengeluarkan aturan negative list, artinya objek pajak natura/kenikmatan masih bersifat sangat luas. Bila hanya melihat dari lima kelompok pengecualian diatas, apakah artinya selain dari kelompok tersebut secara otomatis akan menjadi objek pajak natura? Jika begitu, dapat dibayangkan akan ada banyak objek pajak natura yang dapat dimasukkan ke dalam PPh 21 karyawan. 

Untuk itu, diperlukannya  ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pajak natura agar dapat diketahui secara jelas klasifikasi objek dan non-objek pajak natura/kenikmatan serta batasan nilainya (threshold). Perlunya penentuan threshold ini agar terjaminnya prinsip keadilan dan kepastian mengenai hukum dan aturan pemajakan natura/kenikmatan. 

Pentingnya Threshold Dalam Pajak Natura

Threshold dalam pajak natura/kenikmatan merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai  acuan batasan nilai tertentu dari jenis pajak tersebut. Gunanya penetapan threshold ini untuk mengetahui batasan secara jelas atas natura/kenikmatan apa saja yang menjadi objek pajak. Kemudian, dari sisi penerima penghasilan perlu diketahui pula bagaimana perlakuan pajak natura untuk wajib pajak yang berstatus sebagai pegawai dan non-pegawai. Contohnya, dalam hal pemberian natura/kenikmatan untuk kelancaran pekerjaan dan produktivitas pegawai, seperti pemberian barang berupa laptop, handphone, fasilitas kendaraan mobil, motor hingga rumah, apakah akan menjadi objek pajak ataukah non-objek pajak? Hal tersebut perlu menjadi pertimbangan penuh agar sejalan dengan prinsip keadilan yang diharapkan pemerintah. Pertimbangan tersebut jelas sekali akan berimplikasinya terhadap pemotongan PPh Pasal 21 karyawan yang dapat memengaruhi cost of  compliance PPh Pasal 21 di perusahaan.

 Seyogyanya pemerintah dapat membuat aturan seadil-adilnya agar kemudian dapat dijadikan acuan dasar bagi wajib pajak terutama perusahaan sebagai pemberi kerja untuk melakukan pemotongan pajak natura dengan semestinya.

 

Referensi :

  • Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021

Topik: natura, PP 55/2022

Sumber gambar : Marketeers

...

Dilema Usaha Pusat Kebugaran Termasuk Pajak Pusat atau Pajak Daerah?

Kami ada usaha fitness center sejak 2017. Tahun 2020 kami mendapat SP2DK yang intinya di minta membayar PPN karena kami sudah PKP. Bukankah usaha fitness center bayarnya pajak daerah dan bukan objek PPN ya? Mohon bantuan solusinya pak. 

Terima kasih banyak atas pertanyaan yang saudara berikan terkait usaha pusat kebugaran (fitness center).

Sebelum terbitnya Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) Nomor 7 Tahun 2021, perlakuan pajak atas usaha pusat kebugaran atau fitness center memang mengalami tarik ulur, antara masuk dalam pajak pusat atau pajak daerah. Hal ini di karenakan terdapat perbedaan definisi “hiburan” dalam PKM nomor PMK-158/PMK.010/2015 dan UU PDRD 2009. 

Dalam Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat 3, salah satu jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa kesenian dan hiburan.  Ketentuan ini dijelaskan lebih lanjut dalam PMK-158/PMK.010/2015, dimana ditegaskan jenis jasa yang tidak dikenai PPN secara umum bersifat tontonan. Pasal 2 ayat (2) PMK 158/2015 berbunyi: "Termasuk jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hiburan yang meliputi: 

  • a. tontonan film; 
  • b. tontonan pagelaran kesenian, tontonan pagelaran musik, tontonan pagelaran tari, dan/ atau tontonan pagelaran busana; 
  • c. tontonan kontes kecantikan, tontonan kontes binaraga, dan tontonan kontes sejenisnya; 
  • d. tontonan berupa pameran; 
  • e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; 
  • f. tontonan pertunjukan sirkus, tontonan pertunjukan akrobat, dan tontonan pertunjukan sulap; 
  • g. tontonan pertandingan pacuan kuda, tontonan pertandingan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; dan 
  • h. tontonan pertandingan olahraga."

Sementara itu pajak hiburan menurut UU PDRD 2009 pasal 42 berbunyi " 

(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran. 

(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 

  • a. tontonan film; 
  • b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
  • c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya; 
  • d. pameran; 
  • e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; 
  • f. sirkus, akrobat, dan sulap; 
  • g. permainan bilyar, golf, dan boling; 
  • h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; 
  • i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan 
  • j. pertandingan olahraga.

Jika kita melihat dari 2 peraturan tersebut akan menemui masalahnya. Pertama, dalam PMK 158/2015 pusat kebugaran tidak masuk dalam jasa yang tidak dikenakan PPN, artinya atas usaha fitness center termasuk objek PPN. Kedua, dalam UU PDRD tahun 2009 pusat kebugaran termasuk dalam jasa hiburan yang dikenai pajak daerah. Hal tersebut jelas akan merugikan wajib pajak karena berpotensi terkena pajak ganda (PPN dan Pajak Daerah). Wajib pajak yang menjalankan usaha pada periode 2009-2021 kemungkinan besar akan menemui masalah ini untuk ditarik ulur perpajakannya. 

Namun setelah diberlakukannya UU HPP pada tahun 2022 dan diperjelas dengan PMK Nomor 70/PMK.03/2022 seharusnya sudah tidak ada lagi tarik ulur pajak atas pusat kebugaran (fitness center). Karena memang seharusnya pusat kebugaran (fitness center) termasuk pajak daerah. 

Pasal 5 ayat (1) PMK 70/2022 berbunyi: "Jasa tertentu dalam kelompok jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi:

  • a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
  • b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
  • c. kontes kecantikan;
  • d. kontes binaraga;
  • e. pameran;
  • f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
  • g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
  • h. permainan ketangkasan;
  • i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
  • j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
  • k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
  • l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau perawatan dengan air (spa).

Pajak ganda ini sebenarnya tidak perlu terjadi dengan referensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XI/2013, yang menguatkan pusat kebugaran sebagai objek Pajak Hiburan. Salah satu alasan yang diajukan oleh Pemohon uji materi adalah dengan berlakunya UU PDRD 2009 akan mengakibatkan pajak ganda. Dalam tanggapannya, Pemerintah menyatakan bahwa berdasarkan empat fitur identik kriteria terjadinya pajak ganda (Wajib Pajak, objek pajak, jenis pajak dan masa pajak), tidak terdapat pajak ganda dari Pajak Hiburan atas pusat kebugaran dengan pajak ataupun pungutan lainnya. Khusus untuk PPN, dengan dimasukkannya pusat kebugaran menjadi objek Pajak Hiburan berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU PDRD 2009, yang diikuti dengan ketentuan serupa dalam Pasal 4A ayat (3) huruf h UU PPN 2009 dengan mengecualikan jasa kesenian dan hiburan dari pengenaan PPN, maka seharusnya tidak ada pajak berganda atas jasa penyelenggaraan pusat kebugaran.

Semoga tulisan ini menjawab. Terima kasih.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
  • PMK 158/PMK.010/2015
  • PMK 70/PMK.03/2022

 

Topik: fitness center, pajak daerah, pajak pusat, ppn

...

Jasa Laporan Keuangan dan Pajak di Jakarta

Laporan keuangan dan perpajakan memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan usaha. Terutama untuk menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan diperlukan laporan keuangan komersial dan fiskal. Namun masih banyak dari pelaku usaha mengabaikan keberadaan laporan keuangan dan perpajakan, sehingga berpotensi masalah keuangan dan terkena denda pajak. Bahkan karena mengabaikan pembayaran pajak bertahun-tahun, ada wajib pajak yang sampai tutup usaha karena tidak mampu lagi membayar pajak yang terutang. Sangat disayangkan jika ini terjadi pada bisnis anda.

Namun bagi anda yang belum memiliki laporan keuangan dan laporan perpajakan, jangan khawatir karena melalui tulisan ini bisa jadi anda akan menemukan solusinya. Kami membuka jasa pembuatan laporan keuangan dan perpajakan bulanan, pendampingan pemeriksaan pajak, dan memberi tanggapan SP2DK. Harga jasa akuntansi maupun perpajakan hanya mulai dari 500 ribuan saja. Harga layanan kami tergantung kondisi usaha, volume transaksi, dan omset usaha yang dijalankan. Selengkapnya untuk melihat harga bisa klik disini

Jasa Akuntansi - Perusahaan akan mendapatkan

  • Data Jurnal Entri
  • Data Buku Besar
  • Laporan Posisi Keuangan (Neraca)
  • Laporan Laba Rugi
  • Laporan Perubahan Ekuitas
  • Daftar Aset dan Penyusutan
  • Akses Aplikasi Akuntanmu Pro
  • Gratis Konsultasi

Jasa Perpajakan - Perusahaan akan mendapat

  • Data Analisa Aspek Pajak
  • Perhitungan Pajak Terutang
  • Kertas Kerja Perpajakan
  • Laporan SPT Masa/Tahunan
  • Dokumen BPE dan BPN
  • Arsip Dokumen Perpajakan
  • Gratis Konsultasi

Kami memastikan dokumentasi transaksi akan tersimpan dengan baik. Karena kami memiliki sistem online yang sudah di desain untuk dokumentasi transaksi klien. Sehingga kapan saja anda ingin melihat dokumen transaksi yang di inginkan, anda bisa mengakses dengan cara online kapan saja dan dimana saja. 

...

Pilih CV atau PT jika tidak ingin kena pajak saat mengambil laba usaha?

Menjalankan usaha dengan legalitas lengkap menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh pemilih usaha. Tanpa legalitas akan banyak hambatan secara administrasi maupun kesempatan untuk tumbuh berkembang, bahkan bisa di anggap menjalankan usaha secara ilegal. Usaha dengan legalitas lengkap akan jauh lebih dipercaya publik untuk mengikuti kompetisi dunia usaha maupun mengikuti tender-tender yang ada.

Namun memang ada konsekuensi lanjutan jika usaha di legalkan. Salah satunya usaha tersebut harus di daftarkan ke kantor pajak terdekat untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP tersebut nantinya akan digunakan untuk mengurus administrasi izin usaha dan untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Setelah usaha sudah memiliki NPWP maka harus menjalankan seluruh kewajiban perpajakan dengan melapor pajak setiap bulan dan membayar pajak terutang dari transaksi bisnis yang dijalankan.  

Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan perencanaan pajak sebelum melegalkan badan usaha dengan memilih bentuk badan usaha CV daripada bentuk PT atau yang lainnya. 

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf i  Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, yang dikecualikan dari objek pajak adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer (CV) yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.”

Artinya jika pemilik CV ingin mengambil laba usaha dari bisnis yang dijalankan maka tidak terutang pajak. Berbeda jika badan usaha berbentuk PT. Jika pemilik saham (orang pribadi) dari suatu PT ingin mengambil laba dari usaha yang dijalankan dalam bentuk pembagian dividen, atas pembagian dividen tersebut akan terutang pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 dengan tarif 10%.

Contoh:

CV XYZ pada tahun 2022 memperoleh laba usaha sebesar Rp750.000.000, kemudian di tahun 2023 para pemilik CV mengambil laba usaha tersebut sebesar Rp500.000.000. Atas pengambilan laba usaha CV tidak terhutang pajak.

PT XYZ pada tahun 2022 memperoleh laba usaha sebesar Rp.750.000.000. kemudian di tahun 2023  PT membagikan dividen kepada pemegang saham sebesar Rp500.000.000. atas pembagian dividen tersebut terhutang pph pasal 4 ayat 2 sebesar Rp50.000.000.

Itu merupakah salah satu upaya menghemat pajak yang bisa di lakukan oleh pemilik usaha agar tidak terhutang pajak. Walaupun kewajiban perpajakan tidak hanya dilihat dari laba usaha, melainkan juga dilihat dari transaksi-transaksi bisnis yang dijalankan. Seperti pembayaran gaji karyawan, pembayaran jasa, pembayaran sewa, dan masih banyak yang lainnya. Umumnya CV dan PT mempunyai kesamaan dalam melihat aspek pajak dari transaksi bisnis. Karena CV maupun PT dalam perpajakan sama-sama dianggap sebagai wajib pajak badan.

Adapun terkait konsekuensi lain dari legalitas CV, seperti tingkat kepercayaan publik lebih rendah daripada PT, resiko kerugian akan mengikat harta pribadi, dan lain-lain. Penjelasan terkait konsekuensi lain itu mungkin akan dibahas pada kesempatan lainnya. 

Referensi:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

 

Topik: Pendirian CV, Dividen, UU 36 Tahun 2008
Sumber gambar: Law Law Land

...