Perbedaan Usaha Jasa Konstruksi PPh 4 ayat 2 dan Jasa Konstruksi PPh Pasal 23

Pak, kalau perusahaan tidak memiliki SIUJK/SBU tapi mendapatkan pekerjaan jasa konstruksi perbaikan gedung apakah tetap berlaku tarif pph final pasal 4 ayat 2 atau menggunakan tarif umum? Mohon dibantu penjelasannya. Terima kasih. Andrean - Tangerang

Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan bapak andrean melalui media online chatpajak.com

Jika melihat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, jasa konstruksi akan di temui dalam 2 pasal yang berbeda. Pertama ada pada pasal 4 ayat 2 huruf d yaitu Usaha Jasa Konstruksi yang bersifat final, dan yang kedua ada pada pasal 23 ayat 1 huruf c yaitu jasa konstruksi yang bersifat tidak final. Pembahasan lebih lanjut terkait usaha jasa kontruksi pph pasal 4 ayat 2 di atur dalam PP 9/2022 sementara jasa konstruksi pph pasal 23 diatur dalam PMK 141/2015.

Sebenarnya ada hal mendasar yang membedakan jasa konstruksi dari dua pasal tersebut (PPh pasal 4 ayat 2 vs PPh pasal 23). Pada pasal 4 ayat 2 di sebutkan "Usaha Jasa Konstruksi", sementara dalam pasal 23 disebutkan “Jasa Konstruksi”. Artinya terdapat posisi legalitas usaha atau klasifikasi lapangan usaha yang akan mempengaruhi perlakuan perpajakannya.

Menjawab pertanyaan bapak andrean, jika yang di maksud tidak memiliki SIUJK/SBU dalam arti perusahaan bapak mendapatkan pekerjaan jasa konstruksi perbaikan gedung sementara perusahaan bukan merupakan wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi atau wajib pajak tidak mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi maka atas pekerjaan jasa konstruksi tersebut dipotong pph pasal 23. Adapun tarif pajak atas pekerjaan jasa konstruksi tersebut adalah sebesar 2%. Semoga terjawab. 

Dasar Hukum:  

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015
  • Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022

 

Topik: Jasa konstruksi, pph pasal 4 ayat 2, pph pasal 23

 

...

Perusahaan membeli paket perjalanan umroh apakah perlu memotong PPh pasal 23?

Pak, perusahaan kami akan memberangkatkan umroh beberapa karyawan. Atas pembelian paket umroh tersebut apakah perusahaan kami harus memotong pph pasal 23, karena mereka termasuk sebagai jasa perantara atau keagenan kan? Lala - Lampung 

Terima kasih atas pertanyaan Ibu lala. 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 telah merinci beberapa jenis jasa lain sehubungan dengan jasa-jasa yang harus dipotong PPh Pasal 23. Namun jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan (umroh) yang diberikan oleh perusahaan tour and travel tetap bukan termasuk dalam jenis jasa lain yang ada dalam PMK 141/2015. 

Perusahaan tour and travel juga bukan termasuk dalam jasa perantara atau keagenan sebagaimana tercantum dalam PMK 141/2015. Hal ini dijelaskan dalam Surat Direktorat Jendral Pajak Nomor S-09/PJ.032/2008 terkait definisi jasa perantara. “Jasa Perantara adalah jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai perantara dalam perikatan perjanjian di bidang tertentu, dengan mendapat imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21”.  

Selain itu dalam butir 3 Surat Direktorat Jendral Pajak Nomor S-09/PJ.032/2008 dijelaskan bahwa “Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa Internet, jasa Freight Forwarding, Tour Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak tercantum sebagai jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau penggunaan harta…

Dengan demikian, atas transaksi pembelian paket perjalanan umroh yang dilakukan oleh perusahaan ibu lala kepada perusahaan travel umroh tidak perlu di lakukan pemotongan PPh pasal 23 karena atas transaksi tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 23. Semoga terjawab.

Dasar Hukum:

  • Surat Direktorat Jendral Pajak Nomor S-09/PJ.032/2008
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015
  • PER-70/PJ/2007

 

Topik: Umroh, PPh Pasal 23, S-08/2008, PMK 141/2015

...

Orang pribadi menyewa ruko apakah harus memotong pph 4 ayat 2

Saya berencana mau menyewa ruko untuk usaha kecil-kecilan. Ada saudara saya yang bilang harus bayar pajak 10%. Kalau nilai sewa 30 juta per tahun. Jadi saya harus bayar 30 juta ke penyewa + 3 juta untuk pajak ya? Mohon arahannya mas. - Aldi 

Sebelumnya kami ucapkan terima kasih karena sudah bertanya melalui media online chatpajak.com. Untuk menjawab pertanyaan di atas saya akan memberikan penjelasan sedikit terkait dasar hukum pajak atas transaksi sewa ruko atau sewa tanah dan atau bangunan. 

Ketentuan dasar terkait pajak atas transaksi sewa tanah dan atau bangunan di atur di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat (2) s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Sementara pengaturan lebih lanjut terkait dasar pengenaan, tarif, kewajiban pihak pemotong, dan lain-lain, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017.

Pertama yang harus di pahami bahwa tidak semua orang pribadi yang menyewa ruko berhak memotong pajak (PPh Pasal 4 ayat 2). Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 (PP 34/2017) pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa yang bisa memotong adalah “orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan”. Artinya jika bapak Aldi tidak memiliki surat keterangan penunjukan tersebut, maka tidak berhak untuk melakukan pemotongan pajak, karena pajak tersebut akan dibayar sendiri oleh yang menyewakan. Hal tersebut di jelaskan dalam pasal 3 ayat (3), “dalam hal Penyewa bukan sebagai pemotong pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan”.

Kemudian dalam pasal 4 PP 34/2017 dijelaskan tarif pajak atas sewa tanah dan bangunan adalah 10% dari nilai bruto persewaan tanah dan atau bangunan. 

Terkait berapa yang harus bapak Aldi bayar ke pihak yang menyewakan, hal tersebut tergantung kesepakatan atau kontrak perjanjian sewanya. Jika pihak yang menyewakan meminta harga sewa senilai 30 juta tanpa ada penjelasan lebih lanjut terkait perpajakan, maka bapak Aldi cukup membayar sewa senilai 30 juta rupiah. Karena pajak atas sewa ruko tersebut akan di bayar sendiri oleh pihak yang menyewakan. Semoga menjawab.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
  • Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017

 

Topik: PPh Pasal 4 Ayat 2, PP 34/2017, Pajak Sewa Ruko

 

...

Bagaimana pajak UMKM yang melakukan pekerjaan jasa konstruksi

Perusahaan kami memiliki SUKET memenuhi kriteria sebagai wajib pajak berdasarkan PP 23/2018 tapi mendapatkan projek membangun rumah, jadi perusahaan harusnya dipotong PPh Final dengan tarif 0,5% atau dengan tarif PPh final Jasa Konstruksi?

Wajib pajak yang memiliki surat keterangan memenuhi kriteria sebagai wajib pajak berdasarkan PP 23/2018 bukan berarti setiap pendapatannya harus dipotong PPh final dengan tarif 0,5%. Sebagaimana diatur dalam PP 55/2022 pasal 56 bahwa tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai pajak penghasilan yang bersifat final diantaranya sebagai berikut: 

c. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri

Karena tarif pajak penghasilan atas jasa konstruksi sudah diatur tersendiri, dengan demikian walaupun perusahaan memiliki suket PP 23/2018, maka atas penghasilan dari pekerjaan jasa konstruksi harus dipotong dengan tarif PPh final jasa konstruksi. Adapun tarif PPh final jasa konstruksi harus dilihat dulu dari klasifikasi wajib pajaknya. Selengkapnya terkait tarif PPh final jasa konstruksi dalam dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2022.

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018
  • Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022
  • Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022

Topik: Jasa Konstruksi, PP 23/2018, PP 9/2022, PP 55/2022 

 

...

Sudah rutin lapor pajak tapi tetap mendapat SP2DK

SP2DK atau Surat Permintaan Penjelasan Atas Data dan/atau Keterangan sering kali menjadi momok bagi wajib pajak. Apalagi jika di dalamnya terdapat banyak data yang harus di konfirmasi oleh wajib pajak, seketika selera makan bisa hilang hehe. SP2DK muncul sebenarnya memang karena ada sesuatu di laporan wajib pajak. Sesuatu itu bisa jadi karena adanya dugaan ketidak sesuaian pelaporan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau bisa juga karena adanya perbedaan data yang dimiliki oleh fiskus dengan data yang dimiliki oleh wajib pajak.

Berikut ini adalah beberapa hal yang paling sering diminta penjelasan dalam SP2DK:

  1. Angka biaya pembelian dalam lampiran II SPT Tahunan berbeda dengan jumlah angka pajak masukan (PM) pada periode tertentu
  2. Angka biaya gaji, bonus, thr, dll dalam lampiran II SPT Tahunan berbeda dengan angka yang ada pada SPT Masa PPh Pasal 21
  3. Terdapat beban jasa yang belum dilakukan pemotongan pajak, di konfirmasi dengan SPT Unifikasi
  4. Dll

Berdasarkan beberapa point diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa data-data laporan pajak bulanan yang di laporkan oleh wajib pajak akan di bandingkan dengan laporan tahunan. Sehingga wajib pajak perlu memperhatikan laporan bulanan dan laporan tahunan. Sebaiknya sebelum melakukan pelaporan SPT Tahunan, wajib pajak melakukan equalisasi data-data keuangannya dengan data SPT (Surat Pemberitahuan). Setelah data cocok atau mengetahui penyebab perbedaan data, maka wajib pajak sudah bisa dengan tenang melapor SPT Tahunannya. Apabila dikemudian hari mendapatkan SP2DK, wajib pajak bisa menjawab dan memberikan data-data yang diminta oleh AR tanpa rasa ragu.

Tips meminimalisir SP2DK:

  • Lakukan pencatatan transaksi bisnis dengan benar
  • Simpan referensi dokumen transaksi minimal 10 tahun
  • Menyusun laporan keuangan dengan benar sesuai standar akuntansi
  • Lakukan equalisasi beberapa pos data keuangan dengan SPT Masa
  • Lakukan equalisasi data SPT Masa dengan SPT Tahunan
  • Lakukan koreksi fiskal 
  • Jalankan kewajiban sesuai peraturan perpajakan yang berlaku

 

Topik: SP2DK, Equalisasi SPT, Lampiran II SPT Tahunan

...

Omset tidak kena pajak apakah berlaku untuk CV UMKM

Aturan terkait omset atau penghasilan tidak kena pajak sampai dengan Rp500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah) untuk UMKM menjadi perbincangan menarik di kalangan pengusaha atau pembisnis kecil. Pasalnya sebelum munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2022 (PP  55/2022) pelaku UMKM harus membayar PPh Final 0,5% dari omset yang diterima setiap bulan walaupun kondisi usaha dalam keadaan merugi. Namun setelah diterbitkannya PP 55/2022, bagi wajib pajak (UMKM) pribadi yang memiliki omset dibawah atau sampai dengan Rp500.000.000 dalam setahun tidak perlu membayar PPh Final 0,5%.

Tapi bagaimana untuk usaha yang di jalankan oleh persekutuan komanditer atau CV, apakah mendapatkan fasilitas tidak kena pajak untuk omset UMKM setahun dibawah Rp500.000.000?

Ketentuan mengenai fasilitas penghasilan tidak kena pajak untuk omset UMKM setahun dibawah 500 juta hanya berlaku untuk wajib pajak pribadi. Aturan tersebut tidak berlaku untuk wajib pajak badan seperti: CV, PT, maupun WP Badan lainnya. Sehingga wajib pajak badan (CV) tetap harus membayar PPh final 0,5% setiap bulan walaupun omset usaha masih di bawah 500 juta.

Dasar Hukum:

PP Nomor 55 Tahun 2022

 

Topik: PP 55 Tahun 2022, PPh Final, Pajak UMKM, Pajak CV

...