Apa konsekuensi peredaran bruto diatas 4,8 milyar setahun tapi tidak melapor untuk dikukuhkan menjadi PKP

Apa konsekuensi peredaran bruto (omset) diatas 4,8 milyar setahun tapi perusahaan tidak mau melapor untuk dikukuhkan menjadi PKP?

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). 

Artinya, Hal tersebut diatas dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Karena perusahaan sudah memiliki peredaran bruto lebih dari 4,8 milyar dalam setahun maka wajib melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, jika tidak melapor maka DJP akan mengukuhkan PKP secara jabatan sejak orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 

Berdasarkan pasal 2 ayat (4a), Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Misalnya perusahaan pada bulan agustus 2022 memiliki omset 4,8 milyar dan tercatat dalam laporan keuangan 2022 omset sampai dengan 31 desember 2022 adalah 10 milyar, namun omset 2023 turun drastis dan sampai dengan november 2023 omset baru mencapai 4,5 milyar sehingga perusahaan juga belum melapor untuk di kukuhkan sebagai PKP. Atas kondisi tersebut DJP dapat mengukuhkan sebagai PKP sejak bulan agustus 2022 karena telah memenuhi syarat untuk di kukuhkan sebagai PKP dan akan dihitung PPN yang seharusnya dipungut dan terhutang sejak agustus 2022 sampai dengan November 2023. Selain itu perusahaan juga akan mendapat sanksi bunga sebagaimana tertuang dalam pasal 13 ayat (2) UU KUP dan sanksi administrasi berupa denda bedasarkan pasal 14 ayat (4) UU KUP karena tidak menjalankan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.

Kesimpulan

Konsekuensi tidak melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP:

  • Dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan
  • Dihitung PPN Terutang paling lama 5 tahun sebelum dikukuhkan sebagai PKP
  • Sanksi bunga (Pasal 13 ayat (2) UU KUP) 
  • Sanksi administrasi berupa denda (Pasal 14 ayat (4) UU KUP)

 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang KUP
  • PMK 197/PMK.03/2013
...

Aturan Terbaru Pajak Natura

 

Sejak diterbitkannya PP 55/2022, natura menjadi bahasan utama yang tak henti-hentinya dibicarakan oleh wajib pajak. Pasalnya, aturan pajak natura sebelumnya ditegaskan dalam UU HPP menjadi yang dikecualikan dari objek pajak. Namun kemudian, aturan tersebut berubah sejak diterbitkannya PP 55/2023 yang mana dalam peraturan tersebut, tepatnya di Pasal 23 ayat 1 disebutkan bahwa natura menjadi objek pajak penghasilan. 

        “Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek Pajak Penghasilan...” 

Hal ini tentu menjadi topik utama di setiap perbincangan perpajakan. Mengapa? Karena belum adanya kepastian tentang aturan lanjutan mengenai hal tersebut serta bagaimana batasan-batasan perlakuan pajaknya. 

Akhirnya, pada 27 Juni 2023 lalu, pemerintah resmi menerbitkan regulasi baru terkait teknis pelaksanaan pajak natura. Aturan tersebut tertuang dalam PMK 66/2023 yang diberlakukan mulai 1 Juli 2023. Hal ini menjawab sudah pertanyaan-pertanyaan wajib pajak tentang perlakuan serta teknis pelaksanaan, terutama bagi pegawai yang bekerja pada perusahaan.

Ditegaskan kembali dalam PMK 66/2023, bahwa natura dan/atau kenikmataan telah menjadi objek pajak penghasilan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi:

       “Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan....

Definisi natura sendiri merupakan penggantian atau imbalan dalam bentuk barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima. Barang yang dialihkan tersebut dinilai berdasarkan nilai pasar.

Sedangkan kenikmatan merupakan peggantian atau imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan yang bersumber dari aktiva (pemberi imbalan/pihak ketiga yang disewa atau dibiayai pemberi).

 

Batasan Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak 

Dalam PMK 66/202, terdapat beberapa syarat batasan yang dikecualikan dari objek pajak yakni:

 

Objek PajakBatasan
Makanan/minuman disediakan di tempat kerja bagi seluruh PegawaiTanpa batasan nilai
Peralatan dan fasilitas kerja seperti komputer, laptop, pulsa, dll.Diterima/diperoleh pegawai
Kupon makanan/minumanMaks Rp2 juta/bulan
Fasilitas tempat tinggal bersifat individual seperti apartemen atau rumah tapakDiterima/diperoleh pegawai
Fasilitas tempat tinggal yang bersifat komunal seperti mes, asrama, dsb.Diterima/diperoleh pegawai
Fasiltas di daerah tertentu termasuk tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dllTanpa batasan nilai
Fasilitas olahraga golf, acuan kuda, balap perahu bermotor, terbang layang dan olahrga otomotifMaks Rp1,5 juta/tahun
Bingkisan/parcel dalam rangka hari besar keagamaan Diterima/diperoleh pegawai
Bingkisan/parcel selain dalam rangka hari besar keagamaan Maks Rp3 juta//tahun
Fasiias pelayanan kesehatan dan pengobatan dar pemberi kerjaDiterima/diperoleh pegawai
Fasilitas kendaraan
  1. Tidak memiliki penyerataan modal pada pemberi kerja
  2. Maks penghasilan bruto Rp100 juta/bulan
Fasilitas iuran dana pensiunDiterima/diperoleh pegawai
Fasilitas peribadatan seperti mushala, masjid, pura, dsb.Diperuntukkan semata-mata untuk peribadatan
Fasilitas terkait standar keamanan, kesehatan dan keselamatan kerjaTanpa batasan nilai
Seluruh natura dan/atau kenikmatan yang diterima tahun 2022Diterima/diperoleh pegawai

 

Dengan berlakunya PMK 66/2023 ini, maka batasan-batasan objek natura menjadi semakin jelas. Adapun yang memiliki batasan tertentu maka penentuan pajak natura dihitung dari selisih lebih dari nilai yang diperoleh penerima setelah dikurangi dengan batasan tertentu sesuai dengan tabel diatas. 

 

Contoh:

Pada bulan September 2023, PT A memberikan fasilitas apartemen kepada Karina selaku pegawainya. Apartemen tersebut disewa PT A dari pihak ketiga secara bulanan. Selama bulan September 2023, biaya-biaya terkait fasilitas apartemen tersebut yang dikeluarkan PT JC terdiri dari:

  1. Biaya sewa apartemen          : Rp12.000.000
  2. Biaya pemeliharaan               : Rp1.000.000
  3. Biaya utilitas                          : Rp500.000
  4. Total biaya                             : Rp13.500.000

Diketahui bahwa kenikmatan dengan jenis dan batasan tertentu berupa fasilitas tempat tinggal dengan hak penggunaan dipegang oleh perseorangan (individual) antara lain berbentuk apartemen dikecualikan dari objek Pajak sepanjang nilainya tidak lebih dari Rp2.000.000 dalam satu bulan. 

Oleh karena itu, penghasilan berupa penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan berupa fasilitas apartemen yang diterima Karina pada bulan September 2023 yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp13.500.000 - Rp2.000.000 = Rp11.500.000.

 

 

Referensi

UU Harmonisasi Perpajakan Tahun 2021

PP 55 Tahun 2022

PMK 66 Tahun 2023

...

Pajak atas komisi atau fee yang diterima oleh agen travel umroh

Komisi atau fee yang diterima oleh agen (orang pribadi dalam negeri) dari travel umroh merupakan objek pajak penghasilan Pasal 21. Umumnya sistem kerja agen yaitu memasarkan produk maupun jasa yang disediakan oleh pihak travel untuk menarik perhatian calon jamaah umroh. Jika agen berhasil membawa atau mendaftarkan jamaah umroh, maka pihak travel umroh akan memberikan komisi atau fee untuk agen. Atas transaksi pemberian komisi dari pihak travel umroh kepada agen orang pribadi tersebut merupakan objek PPh Pasal 21. Sehingga pihak travel umroh harus melakukan pemotongan pajak sebelum melakukan pembayaran kepada agen.

Berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, “Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;”

Berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf e Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, “Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 … adalah imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;”

Dasar Pengenaan dan Pemotongan

Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut: 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;

Berdasarkan pasal 13, Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya

Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.

Tarif Pemotongan Pajak

Berdasarkan pasal 16, Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari: 

ayat (1) Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). 

ayat (2) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)

Adapun tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak pasal 17 ayat (1) sebagaimana diubah terakhir adalah sebagai berikut:

  • Tarif 5% sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
  • Tarif 15% di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
  • Tarif 25% di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
  • Tarif 30% di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
  • Tarif 35% di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

Contoh Kasus:

Budi adalah seorang agen dari PT Travel Umroh sejak awal tahun 2023. Selama bulan januari - oktober 2023, budi sudah mendapatkan komisi/fee sebesar 20 juta rupiah. Pada bulan november 2023 berhasil mendaftarkan 5 jamaah umroh ke PT Travel Umroh. Setiap jamaah yang didaftarkan, PT Travel Umroh akan memberikan komisi/fee sebesar  1juta rupiah. Diketahui budi memiliki penghasilan lain selain dari PT Travel Umroh. Berapakah pajak yang harus dipotong oleh PT Travel Umroh atas penghasilan budi bulan november?

Jawab: Karena budi memiliki penghasilan lebih dari 1 pemberi kerja, maka dalam perhitungan pajak tidak memperoleh pengurang berupa PTKP.

Penghasilan = 5 juta (1juta x 5 jamaah)

DPP = 50% x 5 juta

Penghasilan kena pajak = 2,5 juta

Pajak yang harus dipotong PT Travel Umroh = 2,5 juta x 5% = 125 ribu

 

Dasar Hukum:

  • UU Pajak Penghasilan
  • PER-16/PJ/2016
...

Jika ingin memungut PPN apakah harus dikukuhkan menjadi PKP?

Pasal 2 ayat (2) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.


Penjelasan:

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Terdapat pengusaha kecil yang tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 TENTANG BATASAN PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI. 

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. 

Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d 197/PMK.03/2013, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) tidak berlaku apabila pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Artinya pengusaha kecil yang omsetnya dibawah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), dapat mengajukan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sehingga dengan menjadi pengusaha kena pajak, pengusaha kecil dapat memungut PPN.

...

Apakah Semua Orang Indonesia Harus Memiliki NPWP?

Pasal 2 ayat (1) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Penjelasan: 

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. 

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak dalam negeri adalah: 

  1. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang:
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
  4. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak luar negeri adalah: 

  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
  2. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
  4. tempat tinggal;
  5. pusat kegiatan utama;
  6. tempat menjalankan kebiasaan;
  7. status subjek pajak; dan/atau
  8. persyaratan tertentu lainnya

yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; (Pasal 2 sampai Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021)

Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1a) UU KUP Nomor 7 Tahun 2021, Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.

Sehingga dengan demikian, setiap orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia yang sudah menerima atau memperoleh penghasilan WAJIB mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk diberi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Ketentuan lebih lanjut tentang pendaftaran NPWP dan penghapusan NPWP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Tentang TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK.

...

Perusahaan memiliki penghasilan final dan non final, bagaimana menghitung beban untuk memperoleh penghasilan kena pajak?

Siang pak, Perusahaan kami memiliki penghasilan final dan non final, bagaimana cara menghitung beban untuk memperoleh penghasilan kena pajaknya ya? Mohon dasar hukumnya. Terima kasih

Perusahaan harus melakukan pembukuan terpisah dalam hal memiliki penghasilan final dan non final. Jika perusahaan tidak dapat memisahkan pembukuan, maka pembebanannya di lakukan secara proposional. 

Berdasarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2010 tentang PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN, 

Pasal (1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
b.menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c.mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
 

Pasal (2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional.

 

Sebagai contoh:

Penghasilan non final Rp80.000.000

Penghasilan final Rp20.000.000

Total Penghasilan Rp100.000.000

Beban usaha (Rp75.000.000)

Laba Usaha Rp25.000.000

Dalam hal perusahaan tidak dapat memisahkan beban yang digunakan untuk memperoleh penghasilan final, maka sebagian beban tersebut harus di koreksi fiskal positif. Karena penghasilan final diatas memiliki porsi 20% (Rp20.000.000) dari total penghasilan (Rp100.000.000), maka beban yang harus di koreksi fiskal positif senilai 20% dari total beban usaha yaitu 20% x Rp75.000.000 = Rp15.000.000.

Sehingga Penghasilan Kena Pajak dapat di hitung sebagai berikut:

Penghasilan non final Rp80.000.000

Penghasilan final (Dikoresi fiskal negatif)

Total Penghasilan Rp80.000.000

Beban usaha (Rp60.000.000) → Dikoreksi fiskal positif senilai Rp15.000.000,-

Penghasilan Kena Pajak Rp20.000.000

 

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2010
...