7 kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan lapangan

Dalam pasal 1 angka 25 UU KUP telah di definisikan bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Pemeriksaan pajak dilaksanakan harus sesuai dengan tata cara pemeriksaan, standar pemeriksaan, dan pedoman pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE). Sehingga pemeriksa harus mengetahui kewenangan dan kewajibannya dalam pemeriksaan. Sementara itu wajib pajak juga harus mengetahui hak dan kewajibannya dalam pemeriksaan. 

Sebelumnya penulis telah menayangkan tulisan tentang 8 Hak Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Pajak, pada kesempatan ini penulis akan menuliskan 7 kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan lapangan. 

Diatur dalam pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:

a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

b. memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

c. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;

d. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:

1) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

2) memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

3) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;

e. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan

f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Untuk memastikan terpenuhinya prosedur pemeriksaan, setiap kewenangan dan kewajiban pemeriksa harus di jalankan, begitu juga dengan hak dan kewajiban wajib pajak. Pemeriksa memiliki kewenangan namun tidak boleh sewenang-wenang, seluruh tindakannya dalam pemeriksaan harus di dasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak dapat menuntut haknya, namun juga tidak boleh lupa untuk menjalankan kewajibannya dalam pemeriksaan. Semua pihak harus berjalan diatas aturan yang telah ditentukan sehingga bisa tercipta kepastian hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan. 

 

Dasar Hukum:

PMK 17/PMK.03/2013

PMK 18/PMK.03/2021

SE-23/PJ/2013

...

Beban Pembuktian Dalam Pemeriksaan Pajak

Bukti mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak. Tanpa adanya bukti, wajib pajak maupun pemeriksa pajak tidak bisa cukup mengambil tindakan hukum, jika dipaksakan tentu akan berpotensi menyalahi standar dan ketentuan dalam pembukuan/akuntansi maupun pemeriksaan pajak. 

Menurut Pasal 1 angka 25 UU KUP, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Timbul pertanyaan mendasar tentang bukti, siapa yang seharusnya membuktikan atau memberikan bukti dalam pemeriksaan pajak?

Sebelum masuk pada pokok jawabannya, penulis akan mencoba memaparkan beberapa pendapat dan dasar hukum yang relevan untuk dijadikan bahan berfikir bersama. Adapun persoalan setuju atau tidak, benar atau salah, itu dikembalikan kepada kesimpulan dari fikiran kita masing-masing.

Self Assessment System

Self assessment system merupakan salah satu sistem perpajakan di indonesia yang memiliki makna; wajib pajak diberikan ruang untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Dalam menghitung, membayar, dan melapor pajak tetap harus sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Sehingga berdasarkan sistem self assessment tersebut, perhitungan, pembayaran, dan laporan pajak dari wajib pajak dianggap benar. Kenapa dianggap benar? Karena itu dampak dari self assessment system, dan tentu wajib pajak menghitung, membayar, dan melapor pajak sesuai dengan kebenaran pengetahuannya. Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak (DPJ)/Pemeriksa. DJP dapat menilai kebenaran laporan wajib pajak melalui pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dengan melakukan pemeriksaan sebagaimana di atur dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak

Pemeriksaan diputuskan untuk dilakukan bukan tanpa proses ya, melainkan sudah melalui tahapan seleksi dan ditemukan adanya dugaan/indikasi ketidakpatuhan wajib pajak. Berdasarkan materi angka 4 huruf b 3) a) (6) (c) Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022, Dalam hal ditemukan adanya indikasi ketidakpatuhan dan estimasi potensi kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi, maka dapat dilakukan tindak lanjut berupa:

  1. Permintaan penjelasan atas Data dan/atau keterangan (SP2DK)
  2. Pengusulan pemeriksaan; atau
  3. Pengusulan pemeriksaan bukti permulaan

Pemeriksaan dilakukan bukan hanya karena adanya indikasi ketidakpatuhan wajib pajak saja, namun bisa juga karena adanya konsekuensi dari permintaan wajib pajak seperti: restitusi, penghapusan NPWP, dan lain sebagainya. 

Dalam hal pemeriksa melihat adanya perbedaan data yang dimiliki oleh DJP dengan data pelaporan wajib pajak, maka ditemukan adanya indikasi ketidakpatuhan wajib pajak. Dengan dasar itu pemeriksa dapat meminta data dan atau keterangan dari wajib pajak untuk memastikan kebenaran datanya. Data pelaporan pajak dan keterangan wajib pajak tetap menjadi bukti yang dianggap benar karena adanya asas self assessment, kecuali pemeriksa bisa membantah dengan bukti lain yang lebih kuat. Sehingga beban pembuktian atas hal yang dianggap tidak benar oleh DJP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang dilapor oleh wajib pajak adalah berada pada DJP.

Beban Pembuktian dalam Pemeriksaan Pajak

Hal-hal mengenai beban pembuktian dalam Undang-Undang Perpajakan sekaligus menjawab pertanyaan diatas, dapat dilihat dalam UU KUP pasal 12 ayat (3) yang menyatakan bahwa: "Apabila Direktur Jenderal Pajak (DJP) mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemeberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan pajak yang terutang"

Selain itu juga dalam penjelasan pasal 29 ayat (2) alenia ke-3 UU KUP menyatakan bahwa: "Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Dalam pasal 8 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan disebutkan bahwa: "Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, yaitu... c. temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukupdan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Bahwa berdasarkan amanat pasal 92 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, Direktur Jenderal Pajak mengatur lebih lanjut standar pemeriksaan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013. Dalam pasal 4 huruf c disebutkan bahwa: "Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, yaitu... c. temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H dalam bukunya "Asas dan Dasar Perpajakan 2" menyatakan: "Kalau wajib pajak memenuhi kewajibannya, yang dibebankan kepadanya, oleh UU seperti mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP, memasukkan SPT pada waktunya, mengadakan pembukuan jika diwajibkan, memperlihatkan pembukuan, memberi penjelasan lebih lanjut tentang Surat Pemberitahuannya, memperlihatkan bukti-bukti yang dijadikan dasar pembukuan dan sebagainya, dan juga memenuhi segala permintaan Direktur Jenderal Pajak, dalam batas-batas kewajaran, dan Kantor Pelayanan Pajak menetapkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang lebih besar daripada pajak yang dihitung sendiri (oleh wajib pajak) berdasarkan self-assessment, dan menyimpang dari data yang diberitahukan dalam SPT, maka Kantor Pelayanan Pajak berkewajiban untuk membuktikan, bahwa data yang dijadikan dasar SKP-nya adalah yang benar dan data yang dimasukkan dalam SPT wajib pajak adalah tidak benar".

Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H., menulis dalam bukunya "Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia" halaman 168, menyatakan bahwa: "Bila seorang wajib pajak dikenakan pajak, dan kemudian ia mengajukan keberatan atau surat minta banding di muka Majelis Pertimbangan Pajak, dalam surat mana ia mengatakan bahwa hutang pajak menurut surat ketetapan adalah terlampau tinggi dan oleh karena itu tidak dapat dibenarkan menurut pendapat wajib pajak, siapakah yang harus membuktikan bahwa ketetapan itu tidak benar? Dalam keadaan demikian sudah barang tentu Inspeksi Keuangan menetapkan jumlah pajaknya menyimpang dari isi surat pemberitahuan pajak (SPT) yang telah dimasukkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Pada umumnya dianut prinsip bahwa bila inspektur menyimpang dari Surat Pemberitahuan, maka ialah yang wajib membuktikan bahwa surat ketetapan itu benar".

Menurut Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji dalam bukunya "Transfer Pricing: Ide, Stategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional" halaman 550, menyatakan bahwa: "Pembagian beban pembuktian di indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sistem prosedur perpajakan yang dianut di indonesia yaitu self-assessment system. Penerapan pembagian beban pembuktian dalam sistem ini dapat dilihat pada proses penerbitan Surat Ketetapan Pajak, dimana dalam pasal 13 ayat (1) UU KUP dijelaskan bahwa: ... ketentuan pasal 26 ayat (4) UU KUP diatas dapat disimpulkan bahwa beban pembuktian pada wajib pajak hanya terbatas atas pajak yang ditetapkan secara jabatan. Dengan demikian secara argumentum a contrario, beban pembuktian atas surat ketetapan pajak yang diterbitkan tidak secara jabatan berada di pihak otoritas pajak".

To be continue...

...

Inilah 11 Kewajiban Pemeriksa Dalam Melakukan Pemeriksaan Pajak

Pelaksaan pemeriksaan pajak tidak bisa lepas dari suatu standar pemeriksaan dan tata cara pemeriksaan. Karena tanpa standar dan tata cara pemeriksaan pajak akan berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat dan tidak tercipta kepastian hukum. Oleh karenanya wajib pajak perlu memahami hak dan kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan pajak. Selain itu yang tidak kalah penting juga memahami kewenangan dan kewajiban pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan.

Pada seri ini penulis akan menyampaikan 11 kewajiban pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan pajak. Sebagaimana diatur dalam pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 jo pasal 105 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib:

a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan Jenis Pemeriksaan Kantor;

b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;

c. memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

d. melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:

1) alasan dan tujuan Pemeriksaan;

2) hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;

3) hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan

4) kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;

e. menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;

f. menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;

g. memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;

h. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

i. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;

j. mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan

k. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.

 

Mengetehui kewajiban pemeriksa ini menjadi penting untuk memastikan jalannya pemeriksaan telah dilakukan sesuai prosedur atau tata cara pemeriksaan. Bahkan Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-16/PJ/2016 untuk menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif. Dalam materi angka 6 dijelaskan bahwa pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:

a. Pemeriksa Pajak harus melakukan perekaman (recording) dengan menggunakan alat bantu perekaman (audio dan/atau visual) pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;

b. Pemeriksa Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa akan dilakukan perekaman terhadap pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan 

c. Hasil perekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika pemeriksa melanggar prosedur pemeriksaan dengan tidak menjalankan kewajibannya saat melakukan pemeriksaan pajak? Silahkan tuliskan pendapat kalian di kolom komentar.

 

Dasar Hukum:

PMK 17/PMK.03/2013

PMK 18/PMK.03/2021

SE-16/PJ/2016

...

Pajak Bunga Deposito

Bunga Deposito Objek Pajak?

Deposito merupakan salah satu bentuk produk simpanan bank yang dapatdicairkan pada jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini bermacam-macam ada yang satu bulan hingga 24 bulan. Dari deposito tersebut kita akan mendapat penghasilan berupa bunga deposito. Pembayaran bunga deposito ini dapat dilakukan tiap bulan atau setelah jatuh tempo sesuai dengan jangka waktunya.

Bila kita lihat dari sisi perpajakannya, bunga deposito termasuk ke dalam penghasilan yang dikenakan PPh Final. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 huruf a UU Pajak Penghasilan. Oleh karenanya, atas penghasilan yang termasuk objek PPh Final maka penghasilannya tidak digabungkan dengan  perhitungan pajak penghasilan tahunan dan tidak dapat dikreditkan.

 

Tarif Pajak Bunga Deposito

Merujuk pada Pasal 5 ayat 2  huruf c PMK Nomor 212/PMK03/2018, tarif pajak untuk bunga deposito adalah sebesar 20% dari jumlah bruto wajib pajak. Namun pemotongan PPh Final tidak dilakukan terhadap penghasilan dari deposito sampai dengan Rp7,5 juta.  Artinya pajak bunga deposito, hanya dikenakan apabila penghasilan deposito lebih dari Rp7,5 juta.

Perhatikan contoh berikut.

Bapak Andi menabung dalam bentuk deposito di Bank ABC sebesar Rp 300 juta dengan tingkat bunga 10% per tahun. Adanya deposito tersebut, Bapak Andi menerima bunga setiap bulan sebesar Rp. 2.500.000 maka perhitungan pajaknya adalah:

atas transaksi tersebut, maka Bank ABC harus memotong PPh Final Pasal 4 Ayat 2 sebesar 20% sesuai aturan PMK Nomor 212/PMK03/2018 Pasal 5 ayat 2 huruf c bahwa “tarif 20%  dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap” sehingga perhitungannya sebagai berikut:

 20% x Rp2.500.000 = Rp.500.000

 

Sebagai informasi, wajib pajak wajib untuk melaporkan deposito tersebut dalam SPT Tahunannya yang masuk ke dalam komponen harta. Adapun jumlah yang dilaporkan adalah jumlah deposito yang wajib pajak miliki pada akhir tahun pajak. Jika wajib pajak memdapatkan penghasilan dari deposito berupa bunga deposito, wajib pajak dapat melaporkan penghasilan tersebut ke dalam kolom “Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final/atau Bersifat Final”.

 

Semoga dapat dipahami.

 

...