
- Home
- Blog


SKP atau STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu apakah batal demi hukum?
1. Latar Belakang
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem perpajakan Indonesia untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dan tujuan lain. Namun, proses pemeriksaan ini dibatasi oleh jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana status hukum dari Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai keabsahan produk hukum tersebut dan implikasinya terhadap hak dan kewajiban wajib pajak.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku?
b. Apakah SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu menjadi batal demi hukum?
c. Apa implikasi hukum dari SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu terhadap wajib pajak dan otoritas pajak?
3. Pembahasan
Pengertian pemeriksaan berdasarkan pasal 1 ayat 25 UU KUP adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Norma pasal 31 ayat (1) dan (2) UU KUP menyatakan:
(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, jangka waktu pemeriksaan merupakan bagian dari prosedur pemeriksaan yang harus dijalankan sesuai ketentuan. Hal tersebut sejalan dengan norma hukum Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Jangka waktu pemeriksaan secara lebih jelas dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021. Menurut pasal 15 PMK tersebut: jangka waktu pemeriksaan dibagi menjadi dua yaitu jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan.
Jangka waktu pengujian untuk pemeriksaan lapangan paling lama 6 bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak.
Berbeda dengan pemeriksaan kantor, jangka waktu pemeriksaan kantor diatur lebih cepat yaitu 4 bulan sejak wajib pajak menghadiri surat panggilan dalam rangka pemeriksaan sampai dengan tanggal SPHP disampaikan. Dan pemeriksaan kantor atas data konkrit jauh lebih cepat lagi yaitu 1 bulan.
Berdasarkan pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, jangka waktu pengujian dapat diperpanjang paling lama 2 bulan. Dan jika ada indikasi TP atau transaksi khusus lain, perpanjangan dapat dilakukan 3 kali paling lama 6 bulan.
Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan dalam pasal 15 dinyatakan bahwa Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 bulan, yang ditung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak sampai dengan tanggal LHP. Namun untuk pemeriksaan atas data konkrit paling lama 10 hari sejak disampaiakan SPHP sampai dengan tanggal LHP.
Pertanyaan:
Apakah SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu menjadi batal demi hukum?
Jangka waktu pemeriksaan pajak memang merupakan bagian integral dari prosedur pemeriksaan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, secara prinsip, pelaksanaan pemeriksaan yang melewati jangka waktu dapat dianggap sebagai pelanggaran prosedur. Dalam konteks hukum administrasi, pelanggaran prosedur dapat menjadi dasar untuk mempermasalahkan keabsahan suatu keputusan. Namun, tidak semua pelanggaran prosedur otomatis mengakibatkan batalnya suatu keputusan. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan seperti:
a. Asas proporsionalitas: Sejauh mana pelanggaran prosedur tersebut mempengaruhi substansi keputusan.
b. Asas kepastian hukum: Apakah pelanggaran prosedur tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum yang signifikan.
c. Asas kemanfaatan: Apakah pembatalan keputusan akan lebih bermanfaat atau justru merugikan kepentingan umum.
Dalam beberapa kasus, pengadilan pajak dan Mahkamah Agung telah memberikan pertimbangan terkait pemeriksaan yang melewati jangka waktu. Beberapa putusan cenderung melihat apakah pelanggaran jangka waktu tersebut mempengaruhi substansi hasil pemeriksaan atau merugikan hak-hak Wajib Pajak secara material. Meskipun pemeriksaan yang melewati jangka waktu tidak serta-merta membatalkan SKP/STP, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan dengan menggunakan argumen pelanggaran prosedur ini.
Namun kembali lagi harus ditekankan bahwa suatu pelanggaran tidak dapat dibiarkan saja tanpa ada akibat hukumnya. Apa lagi negara indonesia adalah negara hukum. Sebagimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3). Jangka waktu pemeriksaan diatur jelas dalam PMK yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara peraturan perundang-undangan.
Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat."
Pasal 8 ayat (2): “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan."
PMK merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang dan memiliki hierarki dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu, ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan yang diatur dalam PMK seharusnya dipatuhi oleh petugas pajak. Selain itu petugas pajak yang akan cenderung terus mengabaikan prosedur jangka waktu pemeriksaan jika tidak ada konsekuensi yang tegas. Ini adalah masalah serius karena dapat melemahkan integritas sistem perpajakan dan mengurangi kepercayaan wajib pajak terhadap proses pemeriksaan. Dan jika pelanggaran prosedur tidak mengakibatkan batalnya produk hukum, maka hal ini juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Wajib pajak mungkin akan merasa bahwa aturan yang ada tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak mereka.
Argumentasi otoritas pajak yang tidak pernah terlewatkan dalam sengketa jangka waktu pemeriksaan yaitu mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan, III. Materi Kebijakan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan huruf a angka 11:
a) Jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-17 dan PMK-256.
b) Khusus untuk pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak kerja sama berbentuk kontrak bagi hasil dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, jangka waktu pemeriksaan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-34.
c) Pengaturan jangka waktu pemeriksaan pada huruf a) dan b) digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen sehingga dapat mengukur kinerja pemeriksa pajak dan kegiatan pemeriksaan pajak.
Namun perlu diingat bahwa Surat Edaran bukanlah peraturan perundang-undangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, SE tersebut digunakan sebagai petunjuk bagi internal DJP dalam melakukan pemeriksaan pajak, sehingga kebijakan yang ada didalamnya tidak berarti harus diikuti oleh wajib pajak dan menggugurkan ketentuan-ketentuan umum. Jika suatu prosedur pemeriksaan yang diatur dalam UU dan PMK tidak dijalankan sebagaimana mestinya hanya berdampak pada internal internal DJP maka wajib pajak tidak mendapatkan keadilan dalam hukum. Dan justru jika wajib pajak diharuskan menyetujui bahwa jangka waktu pemeriksaan hanya digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen semata tanpa ada dampak hukum lainnya maka SE tersebut tidak harmonis atau bertentangan dengan UU Administrasi Pemerintahan Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Dan pasal 66 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
Ada pertanyaan lanjutan yang cukup menarik, apakah DJP diberikan kewenangan untuk membatalkan SKP/STP atas pemeriksaan yang melewati jangka waktu?
Sementara dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP dan Pasal 60 PMK 17/PMK.03/2013 jo PMK 18/PMK.03/2021 dinyatakan bahwa DJP karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat: membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Undang-Undang KUP tidak mengatur secara spesifik kewenangan DJP untuk membatalkan SKP karena pemeriksaan melewati jangka waktu. Namun hanya memuat kewenangan membatalkan hasil pemeriksaan tanpa SPHP dan PAHP. Maka wajar jika permohonan pembatalan SKP atas sengketa cacat prosedur jangka waktu pemeriksaan berdasarkan ketentuan pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP dan PMK Tentang Tata Cara Pemeriksaan seringkali ditotak oleh DJP.
Namun apakah selesai sampai disitu. Jawabannya tidak. Saya akan menguraikan upaya hukum (jalur litigasi) pada sesi berikutnya sekaligus menyimpulkan jawaban rumusan masalah yang telah disampaikan diatas.
...
Pertemuan dalam rangka pemeriksaan pajak tidak boleh direkam?
Dalam pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP di jelaskan bahwa "pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."
Bahwa dalam rangka meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menjaga integritas dan profesionalisme, serta untuk meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, salah satu isi peraturan yang ditetapkan oleh DJP adalah mengenai keharusan merekam (audio dan visual) saat pertemuan dalam rangka pemeriksaan lapangan dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP).
Hal tersebut dimuat dalam pasal 3 ayat (2) PER-07/PJ/2017, "Pertemuan antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak harus dilakukan:
a. pada waktu dan tempat sesuai dengan surat panggilan; dan
b. di ruangan khusus yang memiliki alat perekam suara (audio) dan gambar (visual)."
Direktorat Jenderal Pajak juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-10/PJ/2017 Tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan Dalam Rangka Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dalam materi angka 3c SE-10/PJ/2017 disebutkan "1) Pertemuan dengan Wajib Pajak harus dilakukan pada waktu dan tempat sesuai dengan Surat Panggilan dan dilakukan di ruangan khusus yang memiliki alat perekam suara (audio) dan gambar (visual)."
Sebelum melakukan pengujian data wajib pajak dalam rangka pemeriksaan lapangan, pemeriksa harus mengadakan pertemuan dengan wajib pajak untuk menggali informasi sebanyak mungkin tentang wajib pajak, informasi usaha yang dijalankan wajib pajak, dan meminjam buku, catatan dan dokumen wajib pajak.
Selain itu perekaman (audio dan visual) juga harus dilakukan oleh pemeriksa saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yaitu dalam rangka menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif. Hal tersebut dimuat dalam Materi angka 6 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2016 "Dalam rangka menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:
a. Pemeriksa Pajak harus melakukan perekaman (recording) dengan menggunakan alat bantu perekaman (audio dan/atau visual) pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
b. Pemeriksa Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa akan dilakukan perekaman terhadap pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
c. Hasil perekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan."
Perekaman itu tentunya tidak untuk di abaikan karena hal tersebut merupakan bagian dari prosedur pemeriksaan yang harus di laksanakan, sehingga apabila dalam proses pemeriksaan pajak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan seperti: wajib pajak menyogok pemeriksa pajak atau sebaliknya pemeriksa pajak memeras wajib pajak, atau terjadi persekongkolan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak yang dapat merugikan negara, dengan adanya rekaman audio dan visual tersebut bisa dijadikan alat bukti tindakan-tindakan para pihak dalam melanggar peraturan perundang-undangan. Hal-hal mengenai Ketentuan Pidana Perpajakan bisa anda lihat selengkapnya disini.
Dasar Hukum:
- UU KUP
- PER-07/PJ/2017
- SE-10/PJ/2017
- SE-12/PJ/2016

Resiko Terlambat Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak
KASUS WP TERLAMBAT MENGAJUKAN PENGUKUHAN SEBAGAI PKP
PEGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2 Undang-Undang KUP
(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. --[P3]
(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajaksecara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). --[P3]
(4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak. --[P3]
Pasal 13 Undang-Undang KUP
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut:
a. terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar;
e. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a); atau
Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013
(1) Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(2) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 5
(1) Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
TATA CARA PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)
Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2015
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; atau
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Pasal 3
(1) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterbitkan untuk suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
(3) Surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai dengan Masa Pajak yang tercakup dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 4
(1) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus diterbitkan berdasarkan nota penghitungan.
(2) Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan laporan hasil penelitian, laporan hasil Pemeriksaan, laporan hasil Pemeriksaan Ulang, atau laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
PPN YANG SEHARUSNYA DIPUNGUT DITAMBAH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA
Pasal 13 Undang-Undang KUP
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut: ******)
a. terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar;
e. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a);
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****)
Pasal 9
(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhimya tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Pasal 7 Undang-Undang PPN
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). *) (Berlaku sebelum 1 April 2022)
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
b. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain. ***)
Pasal 65 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021
(1) Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, dapat dikreditkan oleh PKP.
(2) Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP yaitu Masa Pajak sebelum tanggal pengukuhan Pengusaha sebagai PKP sebagaimana tercantum dalam surat pengukuhan PKP.
(3) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP terhitung sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sampai dengan sebelum Pengusaha dimaksud dikukuhkan sebagai PKP.
(4) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberlakukan untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang dilakukan melalui:
a. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN; dan/atau
b. penetapan kewajiban PPN melalui pemeriksaan.
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA TERLAMBAT MENYAMPAIKAN SPT MASA PPN
Pasal 7 Undang-Undang KUP
(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. ***)
APAKAH WP DAPAT MELAKUKAN UPAYA HUKUM SELANJUTNYA?
BACA SELENGKAPNYA DISINI

Melakukan Upaya Hukum Karena Cacat Prosedur Pemeriksaan Pajak
Cacat prosedur dalam pemeriksaan pajak mungkin saja bisa ditemui langsung oleh wajib pajak saat dilakukan proses pemeriksaan lapangan maupun pemeriksaan kantor. Terlepas karena adanya kesengajaan, khilaf, maupun situasi lain. Sehingga penting bagi pemeriksa dan wajib pajak untuk memperhatikan tata cara pemeriksaan dan standar pemeriksaan agar prosedur pemeriksaan dapat di jalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."
Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP "Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."
Menurut Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang KUP "Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]"
Lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d 18/PMK.03/2021 Tentang Tata Cara Pemeriksaan. Serta dalam rangka melaksanakan ketentuaan pasal 92 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 Tentang Standar Pemeriksaan.
Bagaimana jika pemeriksaan pajak tidak dijalankan sesuai prosedur?
Apa upaya hukum yang dapat dilakukan wajib pajak?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, perlu di identifikasi terlebih dahulu apa saja masalah cacat prosedurnya. Apabila dalam pemeriksaan pajak tidak ada SPHP atau PAHP, maka wajib pajak dapat melakukan upaya hukum kepada Direktur Jenderal Pajak yaitu dengan melakukan permohonan pembatalan hasil pemeriksaan atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP "Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. --[P3]"
Lebih lanjut terkait hal tersebut dapat dipelajari dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, dan Pengurangan atau Pembatalan SKP atau STP).
Namun apabila wajib pajak mendapatkan proses pemeriksaan yang cacat prosedur selain karena hal tersebut diatas (pemeriksaan dilakukan tanpa SPHP atau PAHP), maka wajib pajak lebih baik mengajukan gugatan kepada pengadilan pajak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP "Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: ***)
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak."
Menurut pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan "keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat catat:
a. wewenang
b. prosedur dan atau
c. substansi"
Perlu diketahui bahwa ada perbedaan objek gugatan pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP VS pasal 36 ayat (1) huruf d. Objek gugatan dari pintu pasal 23 ayat (2) huruf d adalah Surat Ketetapan Pajak, sementara objek gugatan dari pintu pasal 36 ayat (1) huruf d adalah Surat Keputusan atas permohonan pembatalan SKP.
Apabila wajib pajak mengajukan upaya hukum sesuai pasal 36 ayat (1) KUP ke DJP, maka atas upaya tersebut akan tebit Surat Keputusan, keputusan bisa dikabulkan atau ditolak. Apabila wajib pajak tidak puas dengan hasil Keputusan DJP maka wajib pajak dapat melanjutkan upaya hukum gugatan ke pengadilan pajak atas Surat Keputusan tersebut.
...
Apakah Sengketa Kepabeanan Dapat Diajukan Gugatan di Pengadilan Pajak?
Jum'at 26 Januari 2024 Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I) melaksanakan kegiatan webinar ke-25 dengan tema "Upaya Hukum Dapat Diajukan Terhadap Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Pengadilan Pajak" dengan speaker Dr. Alessandro Rey, SH., MH., Mkn., BSC., MBA. Dalam webinar tersebut Dr. Alessandro Rey mengupas latar belakang dan mengambil pertimbangan hukum Hakim Dr. (c). R. Aryo Atmoko S.IP., ST., SH., MH., MM dalam perkara PT Yuni Internasional.
LATAR BELAKANG
Dalam presentasinya Dr. Alessandro Rey menjelaskan latar belakang dalam sengketa a quo, terdapat beberapa permasalahan, diantaranya:
- Gugatan kepabeanan tidak dapat diterima (N.O) oleh pengadilan pajak
- Majelis hakim berpendapat bahwa sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan di pengadilan pajak
- Majelis hakim berpendapat bahwa sengketa kepabeanan hanya dapat diajukan banding
IDENTIFIKASI MASALAH
Sementara itu beliau melanjutkan indentifikasi masalah dengan tiga pertanyaan:
- Apa dasar hukum majelis hakim berpendapat sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan?
- Apakah sengketa kepabeanan dapat diajukan gugatan? Apa dasar hukumnya?
- Bagaimana pertimbangan hukum Hakim Dr. (c). R. Aryo Atmoko S.IP., ST., SH., MH., MM dalam perkara PT Yuni Internasional?
PEMBAHASAN
Dasar hukum majelis hakim berpendapat sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan adalah Pasal 95 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. Pasal tersebut telah menetapkan upaya hukum lebih lanjut yang dapat ditempuh pihak yang berkeberatan terhadap keputusan atas pelaksanaan Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan yaitu banding ke pengadilan pajak, tanpa membatasi materi yang diajukan banding, baik banding mengenai keberatan formal penerbitannya ataupun karena keberatan mengenai materi keputusannya.
Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan oleh penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Pasal 31 ayat (3) dimaknai bahwa yang dapat diajukan gugatan ke pengadilan pajak adalah:
- Pelaksanaan penagihan pajak
- Keputusan pembetulan
- Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
- Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
Karena kepabeanan merupakan lex specialis, maka perkara a quo harus diputus berdasarkan UU Kepabeanan dan bukan menggunakan UU Perpajakan (KUP).
Lantas jika demikian apakah benar sengketa kepabeanan tidak dapat diajukan gugatan? Mari kita simak penjelasan berikut ini.
Indonesia merupakan negara hukum. Dalam the rules of law harus memuat supermacy of law, equality before the law, dan due process of law. Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) menyebutkan "keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat catat:
- wewenang
- prosedur dan atau
- substansi"
Dalam perkara PT Yuni Internasional, penggugat menggugat diantaranya terkait masalah formal penerbitan SPKTNP. Dengan demikian dalam penerbitan suatu keputusan, tergugat dilarang menerbitkan SPKTNP yang mengandung cacat wewenang, prosedur, dan atau substansi.
Menurut A.V. Dicey: "Indonesia sebagai negara hukum, harus menerapkan asas "due process of law" yang dapat dimaknai bahwa setiap tindakan hukum atau penerbitan keputusan harus sesuai dengan prosedur / hukum acara yang berlaku"
Pada pasal 95 UU Kepabeanan mengatur mengenai keberatan atas keputusan SKPTNP yaitu permohonan banding, namun permohonan banding tersebut hanya berkaitan dengan materi penetapan kembali tarif dan nilai pabean, tetapi tidak masuk mengatur mengenai formal penerbitan SPKTNP terutama adanya cacat prosedur/pelanggaran hukum acara penerbitan SPKTNP.
Bunyi pasal 95 UU Kepabeanan: "Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi."
Ada yang menarik dari pendapat salah satu hakim, menurut hakim Dr. (c). R. Aryo Atmoko S.IP., ST., SH., MH., MM, dalam the rules of law harus memuat supermacy of law, equality before the law, dan due process of law. Dengan adanya Pasal 66 ayat (1) UU AP "keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat catat: wewenang, prosedur dan atau substansi" dalam penerbitan suatu keputusan maka pejabat bea dan cukai dalam hal ini tidak boleh terdapat cacat kewenangan. UU kepabeanan tidak mengatur pengajuan gugatan/banding akibat cacat prosedur dalam penerbitan keputusan dan hanya mengatur pengajuan banding atas pasal 17 ayat (2) tentang materi keputusan serta Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana di maksud dalam pasal 93 ayat (2), pasal 93A ayat (4), atau pasal 94 ayat (2) tentang jangka waktu.
Maka dengan demikian seharusnya berlaku asas Generalia Sunt Praeponenda Singularibus (General thing are to procede particular things, general law are to procede particular laws). Artinya bahwa peraturan yang bersifat umum dapat diterapkan pada peraturan yang bersifat khusus apabila di peraturan yang bersifat khusus tidak mengaturnya.
Dalam pasal 1 angka 2 undang-undang pengadilan pajak disebutkan "Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, berdasarkan peraturan perundang-undanngan yang berlaku." maka dengan demikian (perkara cacat prosedur kepabeanan) dapat digunakan UU perpajakan dalam hal ini yakni UU KUP. Sesuai dengan pertimbangan tersebut menurut hakim R. Aryo Hatmoko dalam usaha memperoleh keadilan, maka importir dapat menggunakan upaya hukum pengadilan untuk membuktikan bahwa keputusan yang diterbitkan merupakan keputusan yang cacat prosedur.
Sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP "Gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap: d. penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat diajukan kepada badan pengadilan pajak."
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepabeanan termasuk bagian dari perpajakan sesuai pasal 1 angka 2 UU Pengadilan Pajak. Oleh karenanya dalam UU Kepabeanan tidak mengatur mengenai upaya hukum terkait penerbitan SPKTNP yang cacat prosedur, maka berlaku asas peraturan umum tetap berlaku jika peraturan khusus tidak mengaturnya. Dengan demikian, penerbitan SPKTNP yang cacat prosedur tersebut dapat diajukan gugatan dipengadilan pajak sesuai dengan pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Kepabeanan
- Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
- Pendapat para ahli
Search
Categories
Tags
- Pajak Pesangon
- Pajak CV
- SP2DK
- Jasa Konstruksi
- Pajak Sewa Ruko
- Umroh
- Jasa laporan keuangan dan pajak
- Dividen
- Pajak Konser Musik
- Pajak sewa lapangan
- Koreksi fiskal
- Pajak lapangan olahraga
- Pusat Kebugaran
- Natura
- Pajak Masukan
- Denda atau Pinalti
- Royalti
- Jasa Pendirian PT
- Pajak Penceramah
- Pajak sewa kantor
- Pembukuan dan Pencatatan
- Kuasa Wajib Pajak
- Beasiswa
- Hadiah
- Software Akuntansi
- Pajak Sewa Kendaraan
- Barang dan Jasa Tidak Dikenai PPN
- Dibebaskan Dari PPN
- Batam
- NPWP
- Pengusaha Kena Pajak
- Sumbangan
- Pemeriksaan Pajak
- Reimbursement
- Biaya promosi
- Piutang Tak Tertagih
- Warisan
- Account Representative
- PPN
- Biaya perjalanan dinas
- Penyusutan dan Amortisasi
- Menolak Pemeriksaan
- Biaya entertainment
- Bunga Deposito
- Kewajiban Pemeriksa
- Imbalan Bunga
- Beban Pembuktian
- Kewajiban wajib pajak
- Kepabeanan
- Cacat Prosedur
- PKP
- Perekaman
- Cacat Prosedur Pemeriksaan
- bukti potong
- Perseroan Komanditer
- Pendaftaran PBB
- lapangan olahraga
- Bukan Objek PPN
- Gaji
- UMKM
- SPT Tahunan
- SPPT
- SKP PBB
- Pembagian Hasil PBB
- Redefinisi pajak