
SKP atau STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu apakah batal demi hukum?
1. Latar Belakang
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem perpajakan Indonesia untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dan tujuan lain. Namun, proses pemeriksaan ini dibatasi oleh jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana status hukum dari Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai keabsahan produk hukum tersebut dan implikasinya terhadap hak dan kewajiban wajib pajak.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku?
b. Apakah SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu menjadi batal demi hukum?
c. Apa implikasi hukum dari SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu terhadap wajib pajak dan otoritas pajak?
3. Pembahasan
Pengertian pemeriksaan berdasarkan pasal 1 ayat 25 UU KUP adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Norma pasal 31 ayat (1) dan (2) UU KUP menyatakan:
(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, jangka waktu pemeriksaan merupakan bagian dari prosedur pemeriksaan yang harus dijalankan sesuai ketentuan. Hal tersebut sejalan dengan norma hukum Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Jangka waktu pemeriksaan secara lebih jelas dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021. Menurut pasal 15 PMK tersebut: jangka waktu pemeriksaan dibagi menjadi dua yaitu jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan.
Jangka waktu pengujian untuk pemeriksaan lapangan paling lama 6 bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak.
Berbeda dengan pemeriksaan kantor, jangka waktu pemeriksaan kantor diatur lebih cepat yaitu 4 bulan sejak wajib pajak menghadiri surat panggilan dalam rangka pemeriksaan sampai dengan tanggal SPHP disampaikan. Dan pemeriksaan kantor atas data konkrit jauh lebih cepat lagi yaitu 1 bulan.
Berdasarkan pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, jangka waktu pengujian dapat diperpanjang paling lama 2 bulan. Dan jika ada indikasi TP atau transaksi khusus lain, perpanjangan dapat dilakukan 3 kali paling lama 6 bulan.
Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan dalam pasal 15 dinyatakan bahwa Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 bulan, yang ditung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak sampai dengan tanggal LHP. Namun untuk pemeriksaan atas data konkrit paling lama 10 hari sejak disampaiakan SPHP sampai dengan tanggal LHP.
Pertanyaan:
Apakah SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu menjadi batal demi hukum?
Jangka waktu pemeriksaan pajak memang merupakan bagian integral dari prosedur pemeriksaan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, secara prinsip, pelaksanaan pemeriksaan yang melewati jangka waktu dapat dianggap sebagai pelanggaran prosedur. Dalam konteks hukum administrasi, pelanggaran prosedur dapat menjadi dasar untuk mempermasalahkan keabsahan suatu keputusan. Namun, tidak semua pelanggaran prosedur otomatis mengakibatkan batalnya suatu keputusan. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan seperti:
a. Asas proporsionalitas: Sejauh mana pelanggaran prosedur tersebut mempengaruhi substansi keputusan.
b. Asas kepastian hukum: Apakah pelanggaran prosedur tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum yang signifikan.
c. Asas kemanfaatan: Apakah pembatalan keputusan akan lebih bermanfaat atau justru merugikan kepentingan umum.
Dalam beberapa kasus, pengadilan pajak dan Mahkamah Agung telah memberikan pertimbangan terkait pemeriksaan yang melewati jangka waktu. Beberapa putusan cenderung melihat apakah pelanggaran jangka waktu tersebut mempengaruhi substansi hasil pemeriksaan atau merugikan hak-hak Wajib Pajak secara material. Meskipun pemeriksaan yang melewati jangka waktu tidak serta-merta membatalkan SKP/STP, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan dengan menggunakan argumen pelanggaran prosedur ini.
Namun kembali lagi harus ditekankan bahwa suatu pelanggaran tidak dapat dibiarkan saja tanpa ada akibat hukumnya. Apa lagi negara indonesia adalah negara hukum. Sebagimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3). Jangka waktu pemeriksaan diatur jelas dalam PMK yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara peraturan perundang-undangan.
Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat."
Pasal 8 ayat (2): “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan."
PMK merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang dan memiliki hierarki dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu, ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan yang diatur dalam PMK seharusnya dipatuhi oleh petugas pajak. Selain itu petugas pajak yang akan cenderung terus mengabaikan prosedur jangka waktu pemeriksaan jika tidak ada konsekuensi yang tegas. Ini adalah masalah serius karena dapat melemahkan integritas sistem perpajakan dan mengurangi kepercayaan wajib pajak terhadap proses pemeriksaan. Dan jika pelanggaran prosedur tidak mengakibatkan batalnya produk hukum, maka hal ini juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Wajib pajak mungkin akan merasa bahwa aturan yang ada tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak mereka.
Argumentasi otoritas pajak yang tidak pernah terlewatkan dalam sengketa jangka waktu pemeriksaan yaitu mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan, III. Materi Kebijakan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan huruf a angka 11:
a) Jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-17 dan PMK-256.
b) Khusus untuk pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak kerja sama berbentuk kontrak bagi hasil dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, jangka waktu pemeriksaan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-34.
c) Pengaturan jangka waktu pemeriksaan pada huruf a) dan b) digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen sehingga dapat mengukur kinerja pemeriksa pajak dan kegiatan pemeriksaan pajak.
Namun perlu diingat bahwa Surat Edaran bukanlah peraturan perundang-undangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, SE tersebut digunakan sebagai petunjuk bagi internal DJP dalam melakukan pemeriksaan pajak, sehingga kebijakan yang ada didalamnya tidak berarti harus diikuti oleh wajib pajak dan menggugurkan ketentuan-ketentuan umum. Jika suatu prosedur pemeriksaan yang diatur dalam UU dan PMK tidak dijalankan sebagaimana mestinya hanya berdampak pada internal internal DJP maka wajib pajak tidak mendapatkan keadilan dalam hukum. Dan justru jika wajib pajak diharuskan menyetujui bahwa jangka waktu pemeriksaan hanya digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen semata tanpa ada dampak hukum lainnya maka SE tersebut tidak harmonis atau bertentangan dengan UU Administrasi Pemerintahan Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Dan pasal 66 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
Ada pertanyaan lanjutan yang cukup menarik, apakah DJP diberikan kewenangan untuk membatalkan SKP/STP atas pemeriksaan yang melewati jangka waktu?
Sementara dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP dan Pasal 60 PMK 17/PMK.03/2013 jo PMK 18/PMK.03/2021 dinyatakan bahwa DJP karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat: membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Undang-Undang KUP tidak mengatur secara spesifik kewenangan DJP untuk membatalkan SKP karena pemeriksaan melewati jangka waktu. Namun hanya memuat kewenangan membatalkan hasil pemeriksaan tanpa SPHP dan PAHP. Maka wajar jika permohonan pembatalan SKP atas sengketa cacat prosedur jangka waktu pemeriksaan berdasarkan ketentuan pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP dan PMK Tentang Tata Cara Pemeriksaan seringkali ditotak oleh DJP.
Namun apakah selesai sampai disitu. Jawabannya tidak. Saya akan menguraikan upaya hukum (jalur litigasi) pada sesi berikutnya sekaligus menyimpulkan jawaban rumusan masalah yang telah disampaikan diatas.