Hasil untuk category "Pemeriksaan Pajak"

SKP atau STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu apakah batal demi hukum?

1. Latar Belakang
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem perpajakan Indonesia untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dan tujuan lain. Namun, proses pemeriksaan ini dibatasi oleh jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana status hukum dari Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai keabsahan produk hukum tersebut dan implikasinya terhadap hak dan kewajiban wajib pajak.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku?
b. Apakah SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu menjadi batal demi hukum?
c. Apa implikasi hukum dari SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu terhadap wajib pajak dan otoritas pajak?

3. Pembahasan
Pengertian pemeriksaan berdasarkan pasal 1 ayat 25 UU KUP adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Norma pasal 31 ayat (1) dan (2) UU KUP menyatakan:
(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, jangka waktu pemeriksaan merupakan bagian dari prosedur pemeriksaan yang harus dijalankan sesuai ketentuan. Hal tersebut sejalan dengan norma hukum Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa syarat sahnya Keputusan meliputi:
a.    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b.    dibuat sesuai prosedur; dan
c.    substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

Jangka waktu pemeriksaan secara lebih jelas dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021. Menurut pasal 15 PMK tersebut: jangka waktu pemeriksaan dibagi menjadi dua yaitu jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan. 

Jangka waktu pengujian untuk pemeriksaan lapangan paling lama 6 bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak. 
Berbeda dengan pemeriksaan kantor, jangka waktu pemeriksaan kantor diatur lebih cepat yaitu 4 bulan sejak wajib pajak menghadiri surat panggilan dalam rangka pemeriksaan sampai dengan tanggal SPHP disampaikan. Dan pemeriksaan kantor atas data konkrit jauh lebih cepat lagi yaitu 1 bulan. 
Berdasarkan pasal 16  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, jangka waktu pengujian dapat diperpanjang paling lama 2 bulan. Dan jika ada indikasi TP atau transaksi khusus lain, perpanjangan dapat dilakukan 3 kali paling lama 6 bulan.

Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan dalam pasal 15 dinyatakan bahwa Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 bulan, yang ditung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada WP, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak sampai dengan tanggal LHP. Namun untuk pemeriksaan atas data konkrit paling lama 10 hari sejak disampaiakan SPHP sampai dengan tanggal LHP.

Pertanyaan:
Apakah SKP/STP yang dihasilkan dari pemeriksaan yang melewati jangka waktu menjadi batal demi hukum?

Jangka waktu pemeriksaan pajak memang merupakan bagian integral dari prosedur pemeriksaan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, secara prinsip, pelaksanaan pemeriksaan yang melewati jangka waktu dapat dianggap sebagai pelanggaran prosedur. Dalam konteks hukum administrasi, pelanggaran prosedur dapat menjadi dasar untuk mempermasalahkan keabsahan suatu keputusan. Namun, tidak semua pelanggaran prosedur otomatis mengakibatkan batalnya suatu keputusan. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan seperti:
a. Asas proporsionalitas: Sejauh mana pelanggaran prosedur tersebut mempengaruhi substansi keputusan.
b. Asas kepastian hukum: Apakah pelanggaran prosedur tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum yang signifikan.
c. Asas kemanfaatan: Apakah pembatalan keputusan akan lebih bermanfaat atau justru merugikan kepentingan umum.

Dalam beberapa kasus, pengadilan pajak dan Mahkamah Agung telah memberikan pertimbangan terkait pemeriksaan yang melewati jangka waktu. Beberapa putusan cenderung melihat apakah pelanggaran jangka waktu tersebut mempengaruhi substansi hasil pemeriksaan atau merugikan hak-hak Wajib Pajak secara material. Meskipun pemeriksaan yang melewati jangka waktu tidak serta-merta membatalkan SKP/STP, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan dengan menggunakan argumen pelanggaran prosedur ini.

Namun kembali lagi harus ditekankan bahwa suatu pelanggaran tidak dapat dibiarkan saja tanpa ada akibat hukumnya. Apa lagi negara indonesia adalah negara hukum. Sebagimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3). Jangka waktu pemeriksaan diatur jelas dalam PMK yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara peraturan perundang-undangan. 
Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat."

Pasal 8 ayat (2): “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan."

PMK merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang dan memiliki hierarki dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu, ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan yang diatur dalam PMK seharusnya dipatuhi oleh petugas pajak. Selain itu petugas pajak yang akan cenderung terus mengabaikan prosedur jangka waktu pemeriksaan jika tidak ada konsekuensi yang tegas. Ini adalah masalah serius karena dapat melemahkan integritas sistem perpajakan dan mengurangi kepercayaan wajib pajak terhadap proses pemeriksaan. Dan jika pelanggaran prosedur tidak mengakibatkan batalnya produk hukum, maka hal ini juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Wajib pajak mungkin akan merasa bahwa aturan yang ada tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak mereka.

Argumentasi otoritas pajak yang tidak pernah terlewatkan dalam sengketa jangka waktu pemeriksaan yaitu mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan, III. Materi Kebijakan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan huruf a angka 11:
a) Jangka waktu pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-17 dan PMK-256.
b) Khusus untuk pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak kerja sama berbentuk kontrak bagi hasil dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, jangka waktu pemeriksaan meliputi jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan dan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK-34.
c) Pengaturan jangka waktu pemeriksaan pada huruf a) dan b) digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen sehingga dapat mengukur kinerja pemeriksa pajak dan kegiatan pemeriksaan pajak.

Namun perlu diingat bahwa Surat Edaran bukanlah peraturan perundang-undangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, SE tersebut digunakan sebagai petunjuk bagi internal DJP dalam melakukan pemeriksaan pajak, sehingga kebijakan yang ada didalamnya tidak berarti harus diikuti oleh wajib pajak dan menggugurkan ketentuan-ketentuan umum. Jika suatu prosedur pemeriksaan yang diatur dalam UU dan PMK tidak dijalankan sebagaimana mestinya hanya berdampak pada internal internal DJP maka wajib pajak tidak mendapatkan keadilan dalam hukum. Dan justru jika wajib pajak diharuskan menyetujui bahwa jangka waktu pemeriksaan hanya digunakan sebagai alat monitoring dan kontrol manajemen semata tanpa ada dampak hukum lainnya maka SE tersebut tidak harmonis atau bertentangan dengan UU Administrasi Pemerintahan Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa syarat sahnya Keputusan meliputi:
a.    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b.    dibuat sesuai prosedur; dan
c.    substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

Dan pasal 66 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
a.    wewenang;
b.    prosedur; dan/atau
c.    substansi.

Ada pertanyaan lanjutan yang cukup menarik, apakah DJP diberikan kewenangan untuk membatalkan SKP/STP atas pemeriksaan yang melewati jangka waktu?
Sementara dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP dan Pasal 60 PMK 17/PMK.03/2013 jo PMK 18/PMK.03/2021 dinyatakan bahwa DJP karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat: membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak  

Undang-Undang KUP tidak mengatur secara spesifik kewenangan DJP untuk membatalkan SKP karena pemeriksaan melewati jangka waktu. Namun hanya memuat kewenangan membatalkan hasil pemeriksaan tanpa SPHP dan PAHP. Maka wajar jika permohonan pembatalan SKP atas sengketa cacat prosedur jangka waktu pemeriksaan berdasarkan ketentuan pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP dan PMK Tentang Tata Cara Pemeriksaan seringkali ditotak oleh DJP.

Namun apakah selesai sampai disitu. Jawabannya tidak. Saya akan menguraikan upaya hukum (jalur litigasi) pada sesi berikutnya sekaligus menyimpulkan jawaban rumusan masalah yang telah disampaikan diatas.

...

Pertemuan dalam rangka pemeriksaan pajak tidak boleh direkam?

Dalam pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP di jelaskan bahwa "pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

Bahwa dalam rangka meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menjaga integritas dan profesionalisme, serta untuk meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, salah satu isi peraturan yang ditetapkan oleh DJP adalah mengenai keharusan merekam (audio dan visual) saat pertemuan dalam rangka pemeriksaan lapangan dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP). 

Hal tersebut dimuat dalam pasal 3 ayat (2) PER-07/PJ/2017"Pertemuan antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak harus dilakukan:
a. pada waktu dan tempat sesuai dengan surat panggilan; dan
b. di ruangan khusus yang memiliki alat perekam suara (audio) dan gambar (visual)."

Direktorat Jenderal Pajak juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-10/PJ/2017 Tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan Dalam Rangka Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dalam materi angka 3c SE-10/PJ/2017 disebutkan "1) Pertemuan dengan Wajib Pajak harus dilakukan pada waktu dan tempat sesuai dengan Surat Panggilan dan dilakukan di ruangan khusus yang memiliki alat perekam suara (audio) dan gambar (visual)."

Sebelum melakukan pengujian data wajib pajak dalam rangka pemeriksaan lapangan, pemeriksa harus mengadakan pertemuan dengan wajib pajak untuk menggali informasi sebanyak mungkin tentang wajib pajak, informasi usaha yang dijalankan wajib pajak, dan meminjam buku, catatan dan dokumen wajib pajak. 

Selain itu perekaman (audio dan visual) juga harus dilakukan oleh pemeriksa saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yaitu dalam rangka menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif. Hal tersebut dimuat dalam Materi angka 6 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2016 "Dalam rangka menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:
a. Pemeriksa Pajak harus melakukan perekaman (recording) dengan menggunakan alat bantu perekaman (audio dan/atau visual) pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
b. Pemeriksa Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa akan dilakukan perekaman terhadap pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
c. Hasil perekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan."

Perekaman itu tentunya tidak untuk di abaikan karena hal tersebut merupakan bagian dari prosedur pemeriksaan yang harus di laksanakan, sehingga apabila dalam proses pemeriksaan pajak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan seperti: wajib pajak menyogok pemeriksa pajak atau sebaliknya pemeriksa pajak memeras wajib pajak, atau terjadi persekongkolan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak yang dapat merugikan negara, dengan adanya rekaman audio dan visual tersebut bisa dijadikan alat bukti tindakan-tindakan para pihak dalam melanggar peraturan perundang-undangan. Hal-hal mengenai Ketentuan Pidana Perpajakan bisa anda lihat selengkapnya disini.

 

Dasar Hukum:

  • UU KUP
  • PER-07/PJ/2017
  • SE-10/PJ/2017
  • SE-12/PJ/2016
...

Melakukan Upaya Hukum Karena Cacat Prosedur Pemeriksaan Pajak

Cacat prosedur dalam pemeriksaan pajak mungkin saja bisa ditemui langsung oleh wajib pajak saat dilakukan proses pemeriksaan lapangan maupun pemeriksaan kantor. Terlepas karena adanya kesengajaan, khilaf, maupun situasi lain. Sehingga penting bagi pemeriksa dan wajib pajak untuk memperhatikan tata cara pemeriksaan dan standar pemeriksaan agar prosedur pemeriksaan dapat di jalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 

Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP "Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

Menurut Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang KUP "Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]" 

Lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d 18/PMK.03/2021 Tentang Tata Cara Pemeriksaan. Serta dalam rangka melaksanakan ketentuaan pasal 92 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 Tentang Standar Pemeriksaan.

Bagaimana jika pemeriksaan pajak tidak dijalankan sesuai prosedur?

Apa upaya hukum yang dapat dilakukan wajib pajak?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, perlu di identifikasi terlebih dahulu apa saja masalah cacat prosedurnya. Apabila dalam pemeriksaan pajak tidak ada SPHP atau PAHP, maka wajib pajak dapat melakukan upaya hukum kepada Direktur Jenderal Pajak yaitu dengan melakukan permohonan pembatalan hasil pemeriksaan atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP "Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau

d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. --[P3]" 

Lebih lanjut terkait hal tersebut dapat dipelajari dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, dan Pengurangan atau Pembatalan SKP atau STP). 

Namun apabila wajib pajak mendapatkan proses pemeriksaan yang cacat prosedur selain karena hal tersebut diatas (pemeriksaan dilakukan tanpa SPHP atau PAHP), maka wajib pajak lebih baik mengajukan gugatan kepada pengadilan pajak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP "Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: ***)

a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;

b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau

d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak."

Menurut pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan "keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat catat:

a. wewenang
b. prosedur dan atau
c. substansi"

Perlu diketahui bahwa ada perbedaan objek gugatan pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP VS pasal 36 ayat (1) huruf d. Objek gugatan dari pintu pasal 23 ayat (2) huruf d adalah Surat Ketetapan Pajak, sementara objek gugatan dari pintu pasal 36 ayat (1) huruf d adalah Surat Keputusan atas permohonan pembatalan SKP. 

Apabila wajib pajak mengajukan upaya hukum sesuai pasal 36 ayat (1) KUP ke DJP, maka atas upaya tersebut akan tebit Surat Keputusan, keputusan bisa dikabulkan atau ditolak. Apabila wajib pajak tidak puas dengan hasil Keputusan DJP maka wajib pajak dapat melanjutkan upaya hukum gugatan ke pengadilan pajak atas Surat Keputusan tersebut.

...

7 kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan lapangan

Dalam pasal 1 angka 25 UU KUP telah di definisikan bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Pemeriksaan pajak dilaksanakan harus sesuai dengan tata cara pemeriksaan, standar pemeriksaan, dan pedoman pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE). Sehingga pemeriksa harus mengetahui kewenangan dan kewajibannya dalam pemeriksaan. Sementara itu wajib pajak juga harus mengetahui hak dan kewajibannya dalam pemeriksaan. 

Sebelumnya penulis telah menayangkan tulisan tentang 8 Hak Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Pajak, pada kesempatan ini penulis akan menuliskan 7 kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan lapangan. 

Diatur dalam pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:

a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

b. memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

c. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;

d. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:

1) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

2) memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

3) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;

e. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan

f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Untuk memastikan terpenuhinya prosedur pemeriksaan, setiap kewenangan dan kewajiban pemeriksa harus di jalankan, begitu juga dengan hak dan kewajiban wajib pajak. Pemeriksa memiliki kewenangan namun tidak boleh sewenang-wenang, seluruh tindakannya dalam pemeriksaan harus di dasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak dapat menuntut haknya, namun juga tidak boleh lupa untuk menjalankan kewajibannya dalam pemeriksaan. Semua pihak harus berjalan diatas aturan yang telah ditentukan sehingga bisa tercipta kepastian hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan. 

 

Dasar Hukum:

PMK 17/PMK.03/2013

PMK 18/PMK.03/2021

SE-23/PJ/2013

...

Beban Pembuktian Dalam Pemeriksaan Pajak

Bukti mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak. Tanpa adanya bukti, wajib pajak maupun pemeriksa pajak tidak bisa cukup mengambil tindakan hukum, jika dipaksakan tentu akan berpotensi menyalahi standar dan ketentuan dalam pembukuan/akuntansi maupun pemeriksaan pajak. 

Menurut Pasal 1 angka 25 UU KUP, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Timbul pertanyaan mendasar tentang bukti, siapa yang seharusnya membuktikan atau memberikan bukti dalam pemeriksaan pajak?

Sebelum masuk pada pokok jawabannya, penulis akan mencoba memaparkan beberapa pendapat dan dasar hukum yang relevan untuk dijadikan bahan berfikir bersama. Adapun persoalan setuju atau tidak, benar atau salah, itu dikembalikan kepada kesimpulan dari fikiran kita masing-masing.

Self Assessment System

Self assessment system merupakan salah satu sistem perpajakan di indonesia yang memiliki makna; wajib pajak diberikan ruang untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Dalam menghitung, membayar, dan melapor pajak tetap harus sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Sehingga berdasarkan sistem self assessment tersebut, perhitungan, pembayaran, dan laporan pajak dari wajib pajak dianggap benar. Kenapa dianggap benar? Karena itu dampak dari self assessment system, dan tentu wajib pajak menghitung, membayar, dan melapor pajak sesuai dengan kebenaran pengetahuannya. Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak (DPJ)/Pemeriksa. DJP dapat menilai kebenaran laporan wajib pajak melalui pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dengan melakukan pemeriksaan sebagaimana di atur dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak

Pemeriksaan diputuskan untuk dilakukan bukan tanpa proses ya, melainkan sudah melalui tahapan seleksi dan ditemukan adanya dugaan/indikasi ketidakpatuhan wajib pajak. Berdasarkan materi angka 4 huruf b 3) a) (6) (c) Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022, Dalam hal ditemukan adanya indikasi ketidakpatuhan dan estimasi potensi kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi, maka dapat dilakukan tindak lanjut berupa:

  1. Permintaan penjelasan atas Data dan/atau keterangan (SP2DK)
  2. Pengusulan pemeriksaan; atau
  3. Pengusulan pemeriksaan bukti permulaan

Pemeriksaan dilakukan bukan hanya karena adanya indikasi ketidakpatuhan wajib pajak saja, namun bisa juga karena adanya konsekuensi dari permintaan wajib pajak seperti: restitusi, penghapusan NPWP, dan lain sebagainya. 

Dalam hal pemeriksa melihat adanya perbedaan data yang dimiliki oleh DJP dengan data pelaporan wajib pajak, maka ditemukan adanya indikasi ketidakpatuhan wajib pajak. Dengan dasar itu pemeriksa dapat meminta data dan atau keterangan dari wajib pajak untuk memastikan kebenaran datanya. Data pelaporan pajak dan keterangan wajib pajak tetap menjadi bukti yang dianggap benar karena adanya asas self assessment, kecuali pemeriksa bisa membantah dengan bukti lain yang lebih kuat. Sehingga beban pembuktian atas hal yang dianggap tidak benar oleh DJP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang dilapor oleh wajib pajak adalah berada pada DJP.

Beban Pembuktian dalam Pemeriksaan Pajak

Hal-hal mengenai beban pembuktian dalam Undang-Undang Perpajakan sekaligus menjawab pertanyaan diatas, dapat dilihat dalam UU KUP pasal 12 ayat (3) yang menyatakan bahwa: "Apabila Direktur Jenderal Pajak (DJP) mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemeberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan pajak yang terutang"

Selain itu juga dalam penjelasan pasal 29 ayat (2) alenia ke-3 UU KUP menyatakan bahwa: "Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Dalam pasal 8 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan disebutkan bahwa: "Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, yaitu... c. temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukupdan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Bahwa berdasarkan amanat pasal 92 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, Direktur Jenderal Pajak mengatur lebih lanjut standar pemeriksaan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013. Dalam pasal 4 huruf c disebutkan bahwa: "Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, yaitu... c. temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H dalam bukunya "Asas dan Dasar Perpajakan 2" menyatakan: "Kalau wajib pajak memenuhi kewajibannya, yang dibebankan kepadanya, oleh UU seperti mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP, memasukkan SPT pada waktunya, mengadakan pembukuan jika diwajibkan, memperlihatkan pembukuan, memberi penjelasan lebih lanjut tentang Surat Pemberitahuannya, memperlihatkan bukti-bukti yang dijadikan dasar pembukuan dan sebagainya, dan juga memenuhi segala permintaan Direktur Jenderal Pajak, dalam batas-batas kewajaran, dan Kantor Pelayanan Pajak menetapkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang lebih besar daripada pajak yang dihitung sendiri (oleh wajib pajak) berdasarkan self-assessment, dan menyimpang dari data yang diberitahukan dalam SPT, maka Kantor Pelayanan Pajak berkewajiban untuk membuktikan, bahwa data yang dijadikan dasar SKP-nya adalah yang benar dan data yang dimasukkan dalam SPT wajib pajak adalah tidak benar".

Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H., menulis dalam bukunya "Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia" halaman 168, menyatakan bahwa: "Bila seorang wajib pajak dikenakan pajak, dan kemudian ia mengajukan keberatan atau surat minta banding di muka Majelis Pertimbangan Pajak, dalam surat mana ia mengatakan bahwa hutang pajak menurut surat ketetapan adalah terlampau tinggi dan oleh karena itu tidak dapat dibenarkan menurut pendapat wajib pajak, siapakah yang harus membuktikan bahwa ketetapan itu tidak benar? Dalam keadaan demikian sudah barang tentu Inspeksi Keuangan menetapkan jumlah pajaknya menyimpang dari isi surat pemberitahuan pajak (SPT) yang telah dimasukkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Pada umumnya dianut prinsip bahwa bila inspektur menyimpang dari Surat Pemberitahuan, maka ialah yang wajib membuktikan bahwa surat ketetapan itu benar".

Menurut Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji dalam bukunya "Transfer Pricing: Ide, Stategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional" halaman 550, menyatakan bahwa: "Pembagian beban pembuktian di indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sistem prosedur perpajakan yang dianut di indonesia yaitu self-assessment system. Penerapan pembagian beban pembuktian dalam sistem ini dapat dilihat pada proses penerbitan Surat Ketetapan Pajak, dimana dalam pasal 13 ayat (1) UU KUP dijelaskan bahwa: ... ketentuan pasal 26 ayat (4) UU KUP diatas dapat disimpulkan bahwa beban pembuktian pada wajib pajak hanya terbatas atas pajak yang ditetapkan secara jabatan. Dengan demikian secara argumentum a contrario, beban pembuktian atas surat ketetapan pajak yang diterbitkan tidak secara jabatan berada di pihak otoritas pajak".

To be continue...

...

Inilah 11 Kewajiban Pemeriksa Dalam Melakukan Pemeriksaan Pajak

Pelaksaan pemeriksaan pajak tidak bisa lepas dari suatu standar pemeriksaan dan tata cara pemeriksaan. Karena tanpa standar dan tata cara pemeriksaan pajak akan berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat dan tidak tercipta kepastian hukum. Oleh karenanya wajib pajak perlu memahami hak dan kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan pajak. Selain itu yang tidak kalah penting juga memahami kewenangan dan kewajiban pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan.

Pada seri ini penulis akan menyampaikan 11 kewajiban pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan pajak. Sebagaimana diatur dalam pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 jo pasal 105 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib:

a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan Jenis Pemeriksaan Kantor;

b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;

c. memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

d. melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:

1) alasan dan tujuan Pemeriksaan;

2) hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;

3) hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan

4) kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;

e. menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;

f. menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;

g. memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;

h. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

i. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;

j. mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan

k. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.

 

Mengetehui kewajiban pemeriksa ini menjadi penting untuk memastikan jalannya pemeriksaan telah dilakukan sesuai prosedur atau tata cara pemeriksaan. Bahkan Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-16/PJ/2016 untuk menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif. Dalam materi angka 6 dijelaskan bahwa pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:

a. Pemeriksa Pajak harus melakukan perekaman (recording) dengan menggunakan alat bantu perekaman (audio dan/atau visual) pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;

b. Pemeriksa Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa akan dilakukan perekaman terhadap pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan 

c. Hasil perekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika pemeriksa melanggar prosedur pemeriksaan dengan tidak menjalankan kewajibannya saat melakukan pemeriksaan pajak? Silahkan tuliskan pendapat kalian di kolom komentar.

 

Dasar Hukum:

PMK 17/PMK.03/2013

PMK 18/PMK.03/2021

SE-16/PJ/2016

...