Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 45/PJ/2021

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 45/PJ/2021

TENTANG

PENGUJIAN FAKTUR PAJAK YANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAINYA DAPAT DIKREDITKAN

SEBAGAI PAJAK MASUKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

A. Umum

Bahwa berdasarkan evaluasi atas putusan upaya hukum terkait sengketa koreksi Pajak Masukan yang disebabkan oleh jawaban konfirmasi Faktur Pajak menyatakan “tidak ada”, “tidak sesuai”, atau jawaban belum atau tidak diterima, diketahui bahwa terdapat ketidakseragaman dalam melakukan pengujian terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tercantum dalam Faktur Pajak untuk dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

Sehubungan dengan pertimbangan tersebut dan untuk memberikan keseragaman pemahaman mengenai perlakuan PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak, perlu menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Pengujian Faktur Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya dapat Dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

 

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai pengujian Faktur Pajak yang PPN-nya dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

2. Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan keseragaman pemahaman dan perlakuan dalam pelaksanaan pengujian Faktur Pajak yang PPN nya dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

 

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:

1. pengertian;

2. ketentuan umum;

3. persyaratan formal dan material Faktur Pajak;

4. pengujian persyaratan material Faktur Pajak;

5. perlakuan atas hasil pengujian persyaratan material Faktur Pajak;

6. tindak lanjut atas hasil pengujian dan konfirmasi Faktur Pajak.

 

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang PPN);

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak;

4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik; 

 

E. Materi

1. Pengertian

a. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

b. Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau perolehan JKP dan/atau pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP.

2. Ketentuan Umum

a. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sepanjang PPN tersebut:

1) bukan merupakan PPN atas pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN; dan

2) tercantum dalam Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan formal dan persyaratan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN.

b. Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak yaitu dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.

3. Persyaratan Formal dan Material Faktur Pajak

a. Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang PPN.

b. Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan BKP, penyerahan JKP, impor BKP, dan/atau pemanfaatan JKP atau BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

4. Pengujian Persyaratan Material Faktur Pajak

Untuk menguji pemenuhan persyaratan material sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b, dilakukan:

a. pengujian atas transaksi yang menjadi dasar pembuatan Faktur Pajak (underlying transaction) melalui pengujian arus uang, arus barang atau perolehan jasa, dan arus dokumen; dan

b. konfirmasi Faktur Pajak melalui sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.

 

5. Perlakuan atas Hasil Pengujian Persyaratan Material Faktur Pajak

Berdasarkan hasil pengujian pemenuhan persyaratan material sebagaimana dimaksud pada angka 4, perlakuan atas PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu:

a. Dalam hal pengujian arus uang, arus barang atau perolehan jasa, dan arus dokumen terpenuhi dan konfirmasi Faktur Pajak menyatakan “ada dan sesuai”, maka PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal dan bukan merupakan PPN atas pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN.

b. Dalam hal pengujian arus uang, arus barang atau perolehan jasa, dan arus dokumen terpenuhi namun konfirmasi Faktur Pajak menyatakan “tidak ada”, maka PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal dan bukan merupakan PPN atas pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN.

c. Dalam hal pengujian arus uang, arus barang atau perolehan jasa, dan arus dokumen tidak terpenuhi namun konfirmasi Faktur Pajak menyatakan “ada dan sesuai”, maka PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

d. Dalam hal pengujian arus uang, arus barang atau perolehan jasa, dan arus dokumen tidak terpenuhi dan konfirmasi Faktur Pajak menyatakan “tidak ada”, maka PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

6. Tindak Lanjut atas Hasil Pengujian dan Konfirmasi Faktur Pajak Berdasarkan hasil pengujian dan konfirmasi Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5

 

F. Penutup

Dengan ditetapkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka pelaksanaan pengujian Faktur Pajak yang PPNnya dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan agar berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

 

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta 

pada tanggal 20 Agustus 2021

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

SURYO UTOMO

 

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ/2014

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-20/PJ/2014

TENTANG

TATA CARA PERMOHONAN KODE AKTIVASI DAN PASSWORD, PERMINTAAN

AKTIVASI AKUN PENGUSAHA KENA PAJAK DAN SERTIFIKAT ELEKTRONIK, SERTA

PERMINTAAN, PENGEMBALIAN, DAN PENGAWASAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

A. Umum

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak, maka perlu disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksud.

 

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan dalam pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 terkait dengan permohonan Kode Aktivasi dan Password, permintaan aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak dan permintaan Sertifikat Elektronik, serta permintaan, pengembalian dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak.

 

2. Tujuan

Memberikan penjelasan prosedur standar dalam penyelesaian: a. permohonan Kode Aktivasi dan password;

b. permintaan aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak;

c. permintaan Sertifikat Elektronik;

d. permintaan Nomor Seri Faktur Pajak;

e. pengembalian dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak.

 

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi pelaksanaan prosedur pemberian dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak yang mencakup tata cara pemberian Kode Aktivasi dan Password, permintaan aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak dan permintaan Sertifikat Elektronik, serta permintaan, pengembalian dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak.

 

D. Dasar

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.

2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.

 

E. Materi

1. Pengertian Umuma. 

a. Petugas Khusus Faktur Pajak yang selanjutnya disebut Petugas Khusus adalah Pelaksana di lingkungan Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk menindaklanjuti prosedur-prosedur yang diatur dalam Surat Edaran ini.

b. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.

c. Passphrase adalah serangkaian angka dan/atau huruf dan/atau karakter tertentu yang digunakan untuk melakukan instalasi Sertifikat Elektronik.

d. Akun Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut Akun PKP adalah wadah layanan perpajakan secara elektronik untuk Pengusaha Kena Pajak dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

 

2. Petugas Khusus

a. Petugas Khusus ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan formulir Surat Keputusan Penunjukan Petugas Khusus sebagaimana tercantum pada Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

b. Sebelum masa berlaku Surat Keputusan Penunjukan Petugas Khusus berakhir, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Petugas Khusus yang berlaku mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun berikutnya.

c. Petugas Khusus diberikan kewenangan untuk menindaklanjuti:

1) Permohonan Kode Aktivasi dan password;

2) Permintaan Aktivasi Akun PKP;

3) Permintaan Sertifikat Elektronik oleh Pengusaha Kena Pajak;

4) Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak;

5) Hal lainnya yang ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku.

d. Untuk dapat menindaklanjuti permintaan Sertifikat Elektronik dari Pengusaha Kena Pajak, Petugas Khusus harus memiliki Sertifikat Elektronik. 

e. Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf d, diperoleh dengan mengajukan Surat Permintaan Sertifikat Elektronik kepada Kepala Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan.

f. Surat Permintaan Sertifikat Elektronik bagi Petugas Khusus adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran III.1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

 

3. Operator Console Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak

a. Operator Console Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menindaklanjuti permintaan Sertifikat Elektronik Petugas Khusus Kantor Pelayanan Pajak yang berada di dalam wilayah kerjanya.

b. Untuk dapat memberikan persetujuan pemberian Sertifikat Elektronik kepada Petugas Khusus, Operator Console Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak harus memiliki Sertifikat Elektronik.

c. Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperoleh dengan mengajukan Surat Permintaan Sertifikat Elektronik kepada Kepala Subdirektorat Pelayanan Operasional, Direktorat Teknologi lnformasi Perpajakan.

d. Surat Permintaan Sertifikat Elektronik bagi Operator Console Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran II.1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

4 Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

a. Pengusaha Kena Pajak mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dan/atau secara online melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

b. Nomor Seri Faktur Pajak hanya diberikan kepada Pengusaha Kena Pajak yang telah memenuhi syarat sebagai berikut:

1) telah memiliki Kode Aktivasi dan Password;

2) telah mengaktivasi Akun PKP; dan3) telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut pada tanggal Pengusaha Kena Pajak mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak.

c. Pengusaha Kena Pajak mengajukan Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

d. Pengusaha Kena Pajak melakukan aktivasi Akun PKP melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dan/atau secara online melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

e. Pengusaha Kena Pajak yang akan mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak secara online, harus terlebih dahulu memiliki Sertifikat Elektronik.

f. Pengusaha Kena Pajak mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dan/atau secara online melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

 

5. Tata Cara

a. Tata Cara Penunjukan Petugas Khusus mengacu pada Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

b. Tata Cara Pemberian atau Pencabutan Sertifikat Elektronik Operator Console Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak mengacu pada Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini

c. Tata Cara Pemberian atau Pencabutan Sertifikat Elektronik Petugas Khusus mengacu pada Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini

d. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Kode Aktivasi dan Password mengacu pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

e. Tata Cara Penyelesaian Permintaan Aktivasi Akun PKP mengacu pada Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak inif. Tata Cara Penyelesaian Permintaan atau Permintaan Pencabutan Sertifikat Elektronik Pengusaha Kena Pajak mengacu pada Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

g. Tata Cara Penyelesaian Permintaan atau Permintaan Pencabutan Sertifikat Elektronik Tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak mengacu padalampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

h. Tata Cara Penyelesaian Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak mengacu padaLampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

i. Tata Cara Pengembalian dan Pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak mengacu pada Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

 

6. Masa Peralihan

a. Aktivasi Akun PKP bagi Pengusaha Kena Pajak yang telah memiliki Kode Aktivasi dan Password sebelum 1 Juli 2014 dilakukan secara jabatan oleh

Direktorat Jenderal Pajak.

b. Surat Keputusan Penunjukan Petugas Khusus sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2012 yang telah terbit sebelum Surat Edaran ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 dengan wewenang tambahan sebagaimana dimaksud pada Surat Edaran ini.

c. Sertifikat Elektronik diberikan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Petugas Khusus yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Penunjukan Petugas Khusus yang pada tanggal 30 Juni 2014 masih berlaku.

d. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik mulai tanggal 1 Juli 2014 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014, diberikan Sertifikat Elektronik secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dapat mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak secara online melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal PajakF.

 

Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal pajak ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2012 tentang Tata Cara Permohonan Kode Aktivasi dan Password serta Permintaan, Pengembalian, dan Pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan para Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait atas pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini serta melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannya.

 

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 20 Juni 2014

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-75/PJ/2015

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-75/PJ/2015

TENTANG

PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK

DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

 

A. Umum

Dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih terkait adanya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang PenyampaianNomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995 serta telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, diperlukan penegasan mengenai perlakuan perpajakan dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.

 

B. Maksud dan Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini disusun untuk memberikan acuan dan keseragaman dalam pelaksanaan dan pengawasan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan serta menyelaraskan dengan ketentuan lain yang terkait.

 

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini menegaskan tentang perlakuan perpajakan atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih terkait dengan adanya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995 serta telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

 

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan).

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang Pajak Penghasilan).

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009.

4. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentan Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredi sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995.

 

 

E. Materi

1. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Salah satu jenis biaya tersebut yaitu piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan persyaratan, antara lain Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang di dalam daftar tersebut mencantumkan identitas debitur, salah satunya berupa Nomor Pokok Wajib Pajak.

 

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995 mengatur hal-hal antara lain:

a. pada setiap pengajuan permohonan kredit, bank wajib meminta kepada pemohon kredit untuk menyampaikan fotokopi kartu NPWP pemohon kredit; dan

b. kewajiban dimaksud pada huruf a berlaku bagi:

1) permohonan satu atau beberapa jenis kredit dengan plafon keseluruhan di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; atau

2) permohonan penambahan kredit sehingga plafon keseluruhan mencapai jumlah di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing.

 

3. Untuk menjaga keselarasan peraturan, keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor Pokok Wajib Pajak dalam daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak diterapkan terhadap piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang berasal dari plafon utang di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari satu kreditur.

 

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 diberlakukan untuk penyelesaian pemeriksaan, keberatan, dan permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, sejak diterbitkannya Surat Edaran ini.

 

F. Penutup

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, diminta agar seluruh unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pengawasan sehubungan dengan pelaksanaan Surat Edaran ini di lingkungan wilayah kerja masingmasing.

 

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 10 Desember 2015

Plt. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ.42/2000

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-20/PJ.42/2000

TENTANG

PERUBAHAN SE-07/PJ.42/2000 TANGGAL 13 APRIL 2000 TENTANG PENEGASAN

LEBIH LANJUT PELAKSANAAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR:

SE-08/PJ.42/1999 TANGGAL 25 PEBRUARI 1999

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak Badan (kreditur) yang melakukan perjanjian/kesepakatan tertulis dengan pihak debitur dalam rangka penyelesaian utangpiutang yang mengakibatkan seluruh atau sebagian utang-piutang dibebaskan atau tidak ditagih, maka ketentuan butir 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE07/PJ.42/2000 tanggal 13 April 2000 tentang penegasan lebih lanjut pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.42/1999 tanggal 25 Pebruari 1999 tentang Penghapusan Piutang Tak Tertagih Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya diubah menjadi sebagai berikut:

"3. Apabila pihak debitur dan kreditur melakukan perjanjian/kesepakatan tertulis yang disahkan oleh Notaris dalam rangka penyelesaian utang-piutang yang mengakibatkan seluruh atau sebagian utang-piutang dibebaskan atau tidak ditagih, maka fotokopi dokumen (yang dilegalisasi oleh Notaris) mengenai perjanjian/kesepakatan yang secara jelas mencantumkan data dan informasi mengenai penyelesaian utang-piutang tersebut dapat menggantikan persyaratan:

  1. penyerahan daftar nama debitur dan jumlah piutang tak tertagih kepada Pengadilan Negeri (PN) atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); dan
  2. pengumuman daftar nama debitur dalam suatu penerbitan."

 

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

 

 

07 Juli 2000 

DIREKTUR JENDERAL 

ttd 

MACHFUD SIDIK

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.42/2000

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-07/PJ.42/2000

TENTANG

PENEGASAN LEBIH LANJUT PELAKSANAAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL

PAJAK NOMOR: SE-08/PJ.42/1999 TANGGAL 25 PEBRUARI 1999

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

Sehubungan dengan adanya pertanyaan dan masalah dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.42/1999 tanggal 25 Pebruari 1999 tentang Penghapusan Piutang Tak Tertagih yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, untuk memberikan kepastian kepada Wajib Pajak dengan ini ditegaskan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:

1. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan penjelasannya dinyatakan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.

2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.42/1999 tanggal 25 Pebruari 1999 tentang Penghapusan Piutang Tak Tertagih yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, piutang tak tertagih yang timbul di bidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang, dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak dengan syarat:

a) Wajib Pajak telah membebankan piutang tak tertagih tersebut sebagai kerugian perusahaan dalam Laporan Keuangan Komersial; dan

b) Menyerahkan nama debitur dan jumlah piutang tak tertagih tersebut kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); dan

c) Mengumumkan daftar nama tersebut dalam suatu penerbitan; dan d) Menyerahkan Daftar Piutang Tak Tertagih yang Dihapuskan yang mencantumkan nama, alamat, NPWP dan jumlahnya, serta dokumen lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

3. Apabila pihak debitur dan kreditur melakukan perjanjian/kesepakatan tertulis yang mengikat kedua belah pihak dalam rangka penyelesaian hutang-piutang yang mengakibatkan seluruh atau sebagian hutang-piutang dibebaskan atau tidak ditagih, maka fotokopi dokumen (yang dilegalisasi) mengenai perjanjian/kesepakatan yang secara jelas mencantumkan data dan informasi mengenai penyelesaian hutangpiutang tersebut dapat menggantikan syarat penyerahan daftar nama debitur dan jumlah piutang tak tertagih kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).

4. Tagihan-tagihan yang jumlahnya tidak lebih dari Rp5.000.000,- untuk setiap debitur, dapat dibuatkan daftar kumulatif (tidak harus mencantumkan rincian identitas debitur dan jumlah piutang tak tertagih) dan tidak harus memenuhi persyaratan seperti tersebut pada butir 2 b) dan 2 c) di atas sepanjang Wajib Pajak dapat menunjukkan bukti-bukti/dokumen pendukung apabila diminta dalam pemeriksaan pajak.

 

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

13 April 2000

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

MACHFUD SIDIK

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.42/1999

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-08/PJ.42/1999

TENTANG

PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 130/KMK.04/1998

TANGGAL 27 FEBRUARI 1998

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Penghapusan Piutang Tak Tertagih Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, maka untuk kelancaran pelaksanaannya dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 130/KMK.04./1998 dinyatakan bahwa piutang tak tertagih yang timbul di bidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan syarat:

(a) Wajib Pajak telah membebankan piutang tak tertagih tersebut sebagai kerugian perusahaan dalam Laporan Keuangan Komersial; dan

(b) menyerahkan nama debitur dan jumlah piutang tak tertagih tersebut kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); dan

(c) mengumumkan daftar nama tersebut dalam suatu penerbitan; dan

(d) menyerahkan Daftar Piutang Tak Tertagih Yang Dihapuskan yang mencantumkan nama, alamat, NPWP dan jumlahnya, serta dokumen lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

2. Yang dimaksud dengan suatu penerbitan adalah:

a) Penerbitan khusus HIMBARA/PERBANAS; atau

b) Penerbitan koran/majalah/buletin atau media massa cetak yang lain; atau

c) Laporan ke Bank Indonesia, kemudian oleh Bank Indonesia diterbitkan/diumumkan dalam data base bank di Bank Indonesia. 

 

3. Penghapusan piutang tak tertagih yang timbul di bidang usaha bank dan lembaga pembiayaan harus dibebankan terlebih dahulu pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal cadangan piutang tak tertagih tidak atau tidak seluruhnya dipakai untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, maka jumlah cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan, sedangkan dalam hal jumlah cadangan tersebut tidak mencukupi, maka kekurangannya diperhitungkan sebagai biaya (penghapusan piutang tak tertagih).

4. Apabila piutang tak tertagih yang telah memenuhi syarat untuk dihapuskan sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, dan di kemudian hari piutang tersebut dapat ditagih kembali, maka atas jumlah yang diterima itu merupakan penghasilan bagi kreditur.

5. Dalam hal jumlah debiturnya sangat banyak dan dalam rangka memanfaatkan maksud dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 130/KMK.04/1998, Wajib Pajak dapat menyerahkan dan melaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak cfm. Kantor Pelayanan Pajak "Daftar Piutang Tak Tertagih Yang Dihapuskan" secara kumulatif bagi debitur yang mempunyai jumlah tunggakan tidak lebih dari Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) untuk tiap-tiap debiturnya. Atas daftar kumulatif tersebut Wajib Pajak harus dapat menyampaikan daftar rinciannya bila sewaktu-waktu diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan untuk debitur yang jumlah tunggakannya di atas Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) tetap harus dibuat daftarnya secara nominatif.

6. Wajib Pajak wajib menyerahkan dan melaporkan tanda bukti kepada Kantor Pelayanan Pajak bahwa Wajib Pajak telah mengumumkan daftar nama debitur dalam suatu penerbitan dan telah menyerahkan daftar tersebut ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); beserta "Daftar Piutang Tak Tertagih Yang Dihapuskan" baik yang dibuat secara kumulatif maupun nominatif yang mencantumkan nama, alamat, NPWP (untuk yang kumulatif tidak perlu NPWP) dan jumlahnya bersama dengan SPT Tahunan PPh (formulir terlampir).

7. Kantor Pelayanan Pajak yang menerima laporan "Daftar Piutang Tak Tertagih Yang Dihapuskan" supaya segera mengirimkan/menyebarkan data penghapusan tagihan terhadap debitur tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak dimana para debitur terdaftar untuk dapat dimanfaatkan dalam pemeriksaan/penghitungan pajak para debitur tersebut.

8. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka SE-12/PJ.42/1998 tanggal 30 Maret 1998, SE-19/PJ.42/1998 tanggal 10 Juli 1998 dan SE-39/PJ.42/1998 tanggal 9 Desember 1998 serta surat penegasan yang bertentangan dengan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

 

Demikian disampaikan untuk dimaklumi. 

25 Februari 1999 

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, 

ttd.

 A. ANSHARI RITONGA

...