Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2018

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-24/PJ/2018

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS IMBALAN YANG DITERIMA OLEH PEMBELI

SEHUBUNGAN DENGAN KONDISI TERTENTU DALAM TRANSAKSI JUAL BELI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

Yth. 1. Pejabat Eselon II di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;

2. Kepala Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;

3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan

4. Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

 

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli, perlu diberikan penegasan mengenai perlakuan perpajakan dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal.

 

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli.

2. Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli yang dapat berupa pencapaian syarat tertentu, penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu, dan penerimaan kompensasi, serta perlakuan perpajakan atas imbalan dimaksud.

 

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini adalah:

1. Pengertian penjual dan pembeli.

2. Kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli.

3. Imbalan atas pencapaian syarat tertentu dan perlakuan perpajakannya.

4. Imbalan atas penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu dan perlakuan perpajakannya

5. Imbalan berupa kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli dan perlakuan perpajakannya.

6. Penjelasan lainnya sehubungan dengan imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu.

 

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean;

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015;

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan; dan

9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

 

E. Materi

1. Pengertian Penjual dan Pembeli

a. Penjual adalah pihak yang menjual produknya kepada pembeli termasuk produsen, distributor, dan agen.

b. Pembeli adalah pihak yang membeli produk dari Penjual untuk dijual kembali termasuk distributor, agen, dan retailer.

 

2. Kondisi Tertentu yang Terjadi dalam Transaksi Jual Beli

Kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli merupakan keadaan atau peristiwa yang dapat mengakibatkan adanya pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli berdasarkan perikatan tertulis dan/atau tidak tertulis. Kondisi tertentu dimaksud antara lain:

a. Pencapaian syarat tertentu.

b. Penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu.

c. Penerimaan kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli.

 

3. Imbalan atas Pencapaian Syarat Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya

a. Berdasarkan perikatan jual beli, Penjual dapat mencantumkan syarat tertentu kepada Pembeli dalam rangka menjaga hubungan dalam kegiatan usaha. Penjual dapat memberikan imbalan kepada Pembeli atas tercapainya syarat tertentu. Pencapaian syarat tertentu dapat berupa:

1) pembelian oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu;

2) penjualan oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu; dan/atau

3) pelunasan oleh Pembeli sesuai jangka waktu tertentu.

b. Imbalan yang diterima atau diperoleh Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban merupakan penghargaan. Termasuk dalam pengertian penghargaan yaitu bonus yang diberikan Penjual kepada Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu.

c. Imbalan yang diterima atau diperoleh Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban merupakan imbalan atas jasa manajemen sepanjang dalam perikatan berupa kontrak kerja sama dicantumkan adanya aktivitas jasa dan terdapat:

1) pengakuan penghasilan atas jasa; atau

2) penagihan atas penyerahan jasa.

d. Perlakuan perpajakan atas penghargaan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah sebagai berikut:

  1. Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh)

a) Penghargaan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghargaan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:

(1) PPh Pasal 21 dalam hal penerima penghargaan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;

(2) PPh Pasal 23 dalam hal penerima penghargaan adalah:

(a) Wajib Pajak badan dalam negeri;

(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghargaan yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;

(3) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghargaan adalah:

(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghargaan yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

b) Dalam hal penghargaan diberikan dalam bentuk barang, maka Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan. Dalam hal nilai kesepakatan tidak diketahui, maka DPP dihitung berdasarkan harga pasar.

2) Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

a) Penghargaan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian Barang Kena Pajak (BKP) oleh Penjual kepada Pembeli:

(1) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan:

(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan

(b) DPP atas penyerahan BKP berupa nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan. Dalam hal nilai kesepakatan tidak diketahui, maka DPP dihitung sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1) huruf b);

(2) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan ekspor BKP Berwujud yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.

b) Penghargaan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian berupa uang dan/atau pengurang kewajiban oleh Penjual kepada Pembeli tidak dikenai PPN.

e. Perlakuan perpajakan atas imbalan jasa manajemen sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah sebagai berikut:

1) Perlakuan PPh

a) Imbalan atas jasa manajemen yang diterima atau diperoleh

Pembeli merupakan objek PPh, dan atas imbalan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:

(1) PPh Pasal 21 dalam hal penerima imbalan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;

(2) PPh Pasal 23 dalam hal penerima imbalan adalah:

(a) Wajib Pajak badan dalam negeri;

(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal imbalan atas jasa manajemen yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;

(3) PPh Pasal 26 dalam hal penerima imbalan adalah:

(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal imbalan atas jasa manajemen yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.

b) Dalam hal imbalan atas jasa manajemen diberikan dalam bentuk barang, DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam kontrak kerja sama.

2) Perlakuan PPN

a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:

(1) Penyerahan jasa manajemen oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai PPN.

(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa manajemen yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.

(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa manajemen yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:

(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan

(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa manajemen berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam kontrak kerja sama.

b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:

(1) Atas pemanfaatan jasa manajemen yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.

(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa manajemen yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.

 

4. Imbalan atas Penyediaan Ruang dan/atau Peralatan Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya

a. Berdasarkan perikatan jual beli, Penjual dapat meminta fasilitas kepada Pembeli berupa penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu untuk kepentingan Penjual, yang dapat berupa lantai untuk menempatkan barang dan rak pemajangan barang penjualan, termasuk rak, rak gantungan, dan/atau etalase untuk menaruh barang yang dipamerkan dalam rangka mendukung kegiatan pemasaran produk dari Penjual.

b. Imbalan berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban yang diberikan oleh Penjual kepada Pembeli atas penyediaan fasilitas ruang sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan bagi Pembeli.

c. Imbalan berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban yang diberikan oleh Penjual kepada Pembeli atas penyediaan fasilitas peralatan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta bagi Pembeli.

d. Perlakuan perpajakan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah sebagai berikut:

1) Perlakuan PPh

a) Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghasilan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:

(1) PPh Pasal 4 ayat (2) dalam hal penerima penghasilan adalah:

(a) Wajib Pajak dalam negeri;

(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;

(2) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghasilan adalah:

(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.

b) Dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan diberikan dalam bentuk barang, maka DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.

2) Perlakuan PPN

a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:

(1) Penyerahan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan JKP yang dikenai PPN.

(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.

(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa  persewaan tanah dan/atau bangunan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:

(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan

(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.

b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:

(1) Atas pemanfaatan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN

(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.

e. Perlakuan perpajakan atas penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah sebagai berikut:

1) Perlakuan PPh

a) Penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghasilan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:

(1) PPh Pasal 23 dalam hal penerima penghasilan adalah:

(a) Wajib Pajak dalam negeri;

(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;

(2) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghasilan adalah:

(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.

b) Dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta diberikan dalam bentuk barang, maka DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.

2) Perlakuan PPN

a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:

(1) Penyerahan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan JKP yang dikenai PPN.

(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.

(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:

(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan

(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.

b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:

(1) Atas pemanfaatan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.

(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.

5. Imbalan Berupa Kompensasi yang Diterima Sehubungan dengan Transaksi Jual Beli dan Perlakuan Perpajakannya

a. Dalam perikatan transaksi jual beli, Penjual dapat memberikan imbalan berupa kompensasi sehubungan dengan transaksi jual beli dalam bentuk uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban untuk menanggung risiko atas terjadinya fluktuasi harga, keterlambatan pengiriman barang, atau program penjualan tertentu atas perintah Penjual.

b. Fluktuasi harga sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat mempengaruhi harga jual pada tingkat Pembeli yang dapat menimbulkan potensi kerugian bagi Pembeli, sehingga Penjual memberikan sejumlah tertentu sebagai kompensasi atau disebut perlindungan harga (price protection).

c. Keterlambatan pengiriman barang sebagaimana dimaksud pada huruf a, terjadi dalam hal barang sampai di tempat Pembeli melebihi batas waktu yang telah disepakati. Penjual memberikan kompensasi kepada Pembeli atas keterlambatan pengiriman tersebut dalam bentuk pembayaran penalti.

d. Program penjualan tertentu atas perintah Penjual sebagaimana dimaksud pada huruf a, misalnya pemberian cicilan bunga 0% kepada pembeli akhir dalam hal Pembeli membayarkan beban bunga terlebih dahulu kepada lembaga pemberi pinjaman dan mendapatkan penggantian dari Penjual.

e. Perlakuan perpajakan atas imbalan berupa kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli dalam bentuk perlindungan harga (price protection), pembayaran penalti, dan pembayaran atas program penjualan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, dan huruf d adalah sebagai berikut:

  1. Perlakuan PPh

a) Kompensasi yang diterima atau diperoleh Pembeli yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai

bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23. Penghasilan dari kompensasi dimaksud wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pembeli.

b) Dalam hal penerima kompensasi adalah Wajib Pajak luar negeri, baik yang memiliki maupun tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, terhadap kompensasi dimaksud tidak dikenai pemotongan PPh Pasal 26.

c) Dalam hal kompensasi diberikan dalam bentuk barang, DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.

2) Perlakuan PPN

a) Kompensasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP oleh Penjual kepada Pembeli:

(1) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan:

(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP;

(b) DPP atas penyerahan BKP berupa nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan;

(2) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan ekspor BKP Berwujud yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.

b) Kompensasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian berupa uang dan/atau pengurang kewajiban oleh Penjual kepada Pembeli tidak dikenai PPN.

 

6. Penjelasan Lainnya sehubungan dengan Imbalan yang Diterima oleh Pembeli sehubungan dengan Kondisi Tertentu Imbalan yang diterima sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b dan huruf c, angka 4 huruf b dan huruf c, dan angka 5 huruf b, huruf c, dan huruf d bukan merupakan potongan harga sehingga tidak dicantumkan sebagai potongan harga dalam faktur penjualan (commercial invoice) maupun Faktur Pajak yang mengurangi harga jual atau penggantian dalam menghitung DPP.

Contoh kasus perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh Pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

 

F. Penutup

Dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh Pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu berpedoman pada Surat Edaran ini.

 

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 29 November 2018

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-27/PJ.22/1986

TENTANG

BIAYA "ENTERTAINMENT" DAN SEJENISNYA (SERI PPh UMUM 18)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

Berkenaan dengan banyaknya pertanyaan mengenai biaya "entertainment", representasi, jamuan tamu dan sejenisnya yang dapat dikurangkan dari penghasilan, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.

2. Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil).

3. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya, sejak tahun pajak 1986 agar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif seperti terlampir yang berisi:

a. Nomor urut.

b. Tanggal "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.

c. - Nama tempat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.

- Alamat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.

- Jenis "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.

- Jumlah (Rp) "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.

d. Relasi usaha yang diberikan "entertainment" dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di atas berisi:

- Nama

- Posisi

- Nama perusahaan

- Jenis usaha.

4. Apabila petugas pajak yang melakukan penelitian atau pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan tahun 1984 dan 1985 menemukan pos biaya "entertainment" dan sejenisnya, maka kepada

Wajib Pajak seyogyanya dimintakan daftar nominatif seperti tersebut di atas untuk membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut benar-benar telah dikeluarkan dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan.

 

Demikianlah untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

14 Juni 1986

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

Drs. SALAMUN A.T.

...

Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S – 334/PJ.312/2003

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
__________________________________________________ 
22 Mei 2003

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 334/PJ.312/2003

TENTANG

PENEGASAN ATAS BIAYA REPRESENTASI/ENTERTAINMENT

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 11 Maret 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa:
a. PT. XYZ bergerak dalam bidang Pedagang Besar Farmasi (PBF). Praktek dunia usaha di bidang obat-obatan di Indonesia sementara ini tidak mungkin dihindari perlunya suatu dana tertentu untuk dapat memperoleh aanwyzing sehingga memungkinkan bagi perusahaan untuk melakukan penyerahan ke badan/dinas terkait. Biaya-biaya tersebut sebenarnya merupakan bagian dari pengeluaran perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Atas biaya-biaya yang dikeluarkan PT. XYZ tersebut telah dibuatkan daftar nominatif dan telah dilampirkan di SPT PPh Badan tahun 2001 sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986. SPT PPh Badan tahun 2001 menyatakan lebih bayar dan KPP telah melakukan pemeriksaan. Salah satu hasil pemeriksaan adalah adanya koreksi fiskal atas biaya representasi tersebut.

b. Saudara menanyakan atas hal-hal sebagai berikut:
1) Apakah pemberian kepada PNS yang sebenarnya merupakan pengeluaran yang semata-mata berkaitan dengan usaha dan sudah dibuatkan daftar nominatif tersendiri tidak diperkenankan ?;
2) Apakah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 masih berlaku ?.

2. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), antara lain diatur bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.

3. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tanggal 14 Juni 1986 tentang Biaya Entertainment dan Sejenisnya, ditegaskan bahwa:
a. Biaya Entertainment, representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh;
b. Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil);
c. Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya, agar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif atas biaya-biaya tersebut.

4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat ditegaskan bahwa:
a. Pada dasarnya pengeluaran biaya representasi, jamuan dan sejenisnya (entertainment) diakui sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, sepanjang pengeluaran tersebut sesuai dengan kelaziman dan kewajaran dalam praktek dunia usaha sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik serta dapat dibuktikan kebenaran dan kaitannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak;
b. Pengeluaran biaya representasi sebagaimana dalam surat Saudara tersebut di atas secara yuridis fiskal tidak dapat diakui sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
c. Pengeluaran yang bersifat resmi kepada instansi pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dapat diakui secara yuridis fiskal sebagai biaya perusahaan sepanjang berkaitan langsung dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak;
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tanggal 14 Juni 1986 masih tetap berlaku.

Demikian harap maklum.

A.n. DIREKTUR JENDERAL,
DIREKTUR,

ttd

IGN MAYUN WINANGUN

 

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-28/PJ/2020

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 28/PJ/2020

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PENELITIAN BUKTI PEMENUHAN KEWAJIBAN

PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK

ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN/ATAU PERUBAHAN PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

A. Umum

Sehubungan dengan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2019 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya, yang mengubah ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2017, diperlukan Surat Edaran Direktur Jenderal menggantikan Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-40/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya, dan SE-13/PJ/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan bagi Wajib Pajak Pengembang (Developer). 

Dalam implementasi SE-40/PJ/2017 dan SE-13/PJ/2019, belum mengakomodasi pengajuan permohonan secara elektronik, persyaratan permohonan belum sederhana, serta jangka waktu penyelesaiannya selama 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) hari kerja. Agar prosedur penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien, serta untuk meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, perlu dirumuskan kembali prosedur penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan dengan fokus sebagai berikut:

1. Penambahan kanal pengajuan permohonan secara elektronik;

2. Penyederhanaan syarat permohonan; dan

3. Percepatan waktu penyelesaian permohonan. B. Maksud dan Tujuan

 

B.  Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman dan memberikan standardisasi dalam pelaksanaan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan.

2. Tujuan

Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai tata cara penelitian formal dan penelitian material bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan.

 

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi;

1. Tata cara penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan;

2. Tata cara penyelesaian permohonan penggantian atau pembatalan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan; dan

3. Tata cara penelitian material bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan.

 

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu;

4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;

5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 37/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu;

6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2019. 

 

E. Materi

1. Penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan, meliputi:

a. penelitian formal; dan

b. penelitian material.

 

2. Penelitian Formal

a. Penelitian formal merupakan penelitian yang dilakukan dalam rangka meneliti kelengkapan dan kesesuaian data dalam formulir atau surat permohonan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

b. Untuk keperluan penelitian formal, orang pribadi atau badan, yang telah memenuhi kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan, harus menyampaikan permohonan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

c. Permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf b, dapat dilakukan secara:

1) elektronik; atau

2) langsung.

 

d. Mekanisme penyampaian permohonan secara elektronik dan penelitiannya:

1) Wajib Pajak yang dapat menyampaikan permohonan secara elektronik adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh DJP, antara lain:

a) memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

b) memiliki akun pada laman DJP Online; dan

c) jumlah daftar pembayaran PPh yang dilakukan tidak lebih dari 10 (sepuluh) untuk 1 (satu) objek pengalihannya.

2) Wajib Pajak harus mengisi dan menyampaikan formulir permohonan secara elektronik

melalui laman pajak.go.id.

3) Berdasarkan hasil penelitian secara elektronik melalui laman pajak.go.id, maka DJP:

a) menerbitkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan (Suket), dalam hal isian permohonan Wajib Pajak telah lengkap dan sesuai; atau

b) memberitahukan penolakan, dalam hal isian data pada formulir yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, secara otomatis, segera setelah Wajib Pajak mengisi dan/atau menyampaikan formulir permohonan secara elektronik.

 

e. Mekanisme penyampaian permohonan secara langsung dan penelitiannya:

1) Dalam hal tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1), Wajib Pajak atau kuasanya menyampaikan surat permohonan secara langsung kepada:

a) Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama; atau

b) Kepala KPP Pratama melalui Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP); yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang dialihkan.

2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat disampaikan oleh Wajib Pajak langsung atau melalui Kuasa.

3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilampiri dengan:

a) Surat kuasa dalam hal penyampaian permohonan dilakukan oleh Kuasa Wajib Pajak;

b) Surat Pernyataan Tidak Wajib Menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi yang memenuhi syarat tidak wajib memiliki NPWP; dan/atau

c) dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan/atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan dilakukan kepada Special Purpose Company (SPC) atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam skema KIK tertentu, juga harus dilengkapi dengan dokumen: (1) fotokopi pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran Dana Investasi Real Estat berbentuk KIK yang diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK);

(2) keterangan dari OJK bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan Real Estat bertransaksi dengan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan

(3) surat pernyataan bermaterai bahwa Wajib Pajak melakukan pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu 

 

F. Lampiran

1. Prosedur kerja:

a. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan/atau Perubahan PPJB Atas Tanah dan/atau Bangunan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama sebagaimana tercantum dalam Lampiran A angka I;

b. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan/atau Perubahan

PPJB Atas Tanah dan/atau Bangunan di Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan

 KP2KP) sebagaimana tercantum dalam Lampiran A angka II;

c. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penggantian/Pembatalan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti

Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama sebagaimana tercantum dalam Lampiran A angka III;

d. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penggantian/Pembatalan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) sebagaimana tercantum dalam Lampiran A angka IV; dan

e. Tata Cara Penyelesaian Penelitian Material Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan/atau Perubahan PPJB Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran A angka V. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

2. Contoh format lampiran:

a. checklist Kelengkapan Persyaratan Permohonan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran B angka I;

b. checklist Kelengkapan Persyaratan Permohonan Penggantian Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran B angka II;

c. checklist Kelengkapan Persyaratan Permohonan Pembatalan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran B angka III;

d. Surat Permohonan Penggantian Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran B angka IV;

e. Surat Permohonan Pembatalan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran B angka V;

f. Surat Pernyataan Bermeterai sebagaimana tercantum dalam Lampiran B angka VI;

g. Berita Acara Penggantian Suket sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B angka VII;

h. Surat Penolakan Penggantian/Pembatalan Suket sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B angka VIII;

i. Surat Keterangan Pembatalan Suket sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B angka IX;

j. Laporan Analisis Ketidakwajaran Nilai Pengalihan sebagaimana tercantum pada Lampiran huruf B angka X, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

 

G. Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini:

a) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-40/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya; dan

b) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Bagi Wajib Pajak Pengembang (Developer), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

 

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 April 2020

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

SURYO UTOMO

 

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2020

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 02/PJ/2020

TENTANG

PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN PADA MASA PAJAK YANG TIDAK SAMA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

A. UMUM

Bahwa terdapat ketidakseragaman perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama sehingga perlu disampaikan Surat Edaran Direktur Jenderal untuk memberikan penegasan mengenai pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama.

                 

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud

Surat Edaran ini dimaksudkan untuk:

memberikan keseragaman pemahaman atas perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN); dan memberikan keadilan berkenaan dengan hak pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).

                 

2. Tujuan

Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan penegasan atas pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN.

                 

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi penegasan atas perlakuan terhadap pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama.

                 

D. DASAR

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

                 

E. MATERI

  1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.      
  2. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Pajak Masukan yang belum dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama dapat disebabkan antara lain karena Faktur Pajak terlambat diterima        
  3. Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada angka 2 telah terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan dapat dilakukan melalui pembetulan SPT Masa PPN yang bersangkutan.          
  4. Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 juga berlaku terhadap Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.           
  5. Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 4 hanya dapat dilakukan dalam hal: Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) dalam harga perolehan BKP atau JKP yang bersangkutan; dan terhadap PKP belum dilakukan pemeriksaan.     
  6. Contoh perlakuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5 yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

                 

F. PENUTUP

Dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama agar dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

 

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 21 Januari 2020

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

SURYO UTOMO

 

 

 

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ/2020

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-08/PJ/2020

TENTANG

TATA CARA PENYELESAIAN PERMINTAAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

Yth. 

1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;

2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;

3. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;

4. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak;

5. Para Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan

di seluruh Indonesia.

 

A. Umum

Bahwa tata cara penyelesaian permintaan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) telah dijelaskan dalam Lampiran VIII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE20/PJ/2014. Sehubungan dengan adanya kebutuhan penyelesaian permintaan NSFP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang kegiatan usahanya memerlukan penerbitan Faktur Pajak dengan jumlah tertentu yang melebihi batasan pemberian NSFP yang telah ditentukan dan belum diakomodasi dalam Surat Edaran dimaksud, perlu dirumuskan tata cara penyelesaian permintaan NSFP untuk:

1. Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai PKP;

2. PKP yang telah melakukan pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang; dan/atau

3. PKP yang mengalami peningkatan usaha. yang karena kegiatan usahanya membutuhkan NSFP dengan jumlah tertentu. 

 

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman pelaksanaan tata cara penyelesaian permintaan NSFP.

2. Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan dan keseragaman tata cara penyelesaian:

a. permintaan NSFP; dan

b. permintaan NSFP dengan jumlah tertentu.

 

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:

1. Pengertian yang digunakan dalam Surat Edaran ini;

2. Tata cara permintaan NSFP; dan

3. Tata cara permintaan NSFP dengan jumlah tertentu.

 

D. Dasar

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014.

 

E. Materi

1. Pengertian

a. NSFP adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada PKP dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

b. Petugas Khusus Faktur Pajak (Petugas Khusus) adalah pegawai pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang ditunjuk oleh Kepala KPP untuk menindaklanjuti prosedur terkait pemberian NSFP yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

c. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.

d. Passphrase adalah serangkaian angka dan/atau huruf dan/atau karakter tertentu yang digunakan untuk melakukan instalasi Sertifikat Elektronik.

e. PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

f. Akun PKP adalah wadah layanan perpajakan secara elektronik untuk PKP dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang PPN.

g. KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.

h. KP2KP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.

i. Jumlah Tertentu adalah jumlah yang melebihi batasan pemberian NSFP yang dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

2. Permintaan NSFP

a. PKP mengajukan permintaan NSFP secar: 1. Pengertian

a. NSFP adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada PKP dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

b. Petugas Khusus Faktur Pajak (Petugas Khusus) adalah pegawai pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang ditunjuk oleh Kepala KPP untuk menindaklanjuti prosedur terkait pemberian NSFP yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

c. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.

d. Passphrase adalah serangkaian angka dan/atau huruf dan/atau karakter tertentu yang digunakan untuk melakukan instalasi Sertifikat Elektronik.

e. PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

f. Akun PKP adalah wadah layanan perpajakan secara elektronik untuk PKP dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang PPN.

g. KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.

h. KP2KP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.

i. Jumlah Tertentu adalah jumlah yang melebihi batasan pemberian NSFP yang dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

2. Permintaan NSFP

a. PKP mengajukan permintaan NSFP secar: yang karena kegiatan usahanya membutuhkan NSFP dengan Jumlah Tertentu.

c. Permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Masa Pajak sejak dikukuhkan sebagai PKP.

d. Permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Masa Pajak sejak berlakunya pemusatan tempat PPN terutang.

e. Surat Permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B angka 5 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

f. NSFP dengan Jumlah Tertentu hanya diberikan kepada PKP yang memenuhi syarat sebagai berikut:

1) memiliki Kode Aktivasi dan Password;

2) telah mengaktivasi Akun PKP; dan

3) telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut pada tanggal PKP mengajukan permintaan NSFP.

g. Kepala Seksi Pelayanan/Kepala KP2KP mengirimkan Nota Dinas pemberitahuan PKP yang mengajukan permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu kepada Kepala Seksi yang bertanggung jawab melakukan pengawasan atas PKP tersebut sebagai bahan pengawasan kepatuhan PKP.

h. Nota Dinas pemberitahuan PKP yang mengajukan permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf g dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B angka 7 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

4. Tata Cara Penyelesaian Permintaan NSFPa. Tata Cara Penyelesaian Permintaan NSFP tercantum dalam Lampiran huruf A angka 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

b. Tata Cara Penyelesaian Permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu dan contoh kasus tercantum dalam Lampiran huruf B angka 1 dan 8 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

 

F. Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, Lampiran VIII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ/2014 tentang Tata Cara Permohonan Kode Aktivasi dan Password, Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak dan Sertifikat Elektronik, serta Permintaan, Pengembalian, dan Pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

3. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan para Kepala KPP agar melakukan sosialisasi kepada PKP dan pengawasan atas pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

 

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 27 Februari 2020

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

SURYO UTOMO

...