Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 812/PJ.53/2005

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
5 September 2005

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 812/PJ.53/2005

TENTANG

PERLAKUAN PPN ATAS PENAGIHAN (REIMBURSEMENT) BIAYA PEMAKAIAN LISTRIK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Sehubungan dengan surat Saudara nomor XXX tanggal 3 September 2004 hal permintaan penjelasan atas Pengenaan PPN untuk Tagihan Penggantian Pemakaian Biaya Listrik, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam surat tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
a. PT ABC adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha persewaan perkantoran dan apartemen.
b. Saudara meminta penegasan untuk hal-hal berikut:
b.1. PT ABC sebagai pengelola gedung membuat tagihan atas pemakaian listrik oleh tenant, dimana besarnya tagihan listrik oleh PT ABC tersebut adalah sama besarnya dengan tagihan dari PT PLN kepada PT ABC.
b.2. PT ABC hanya menggunakan satu gardu listrik untuk seluruh gedung yang disewakan oleh PT ABC, dan besaran tagihan PT PLN kepada PT ABC ditagih kembali oleh PT ABC kepada para tenant dengan cara dibagi sesuai dengan jumlah pemakaian masing- masing tenant.
b.3. Pada saat melakukan penagihan (reimbursement) kepada para tenant tersebut, PT ABC tidak mengenakan PPN karena PT ABC tidak melakukan penambahan biaya/ margin, melainkan hanya sebesar tagihan dari PT PLN.
c. Saudara meminta penegasan apakah langkah yang telah dilakukan oleh PT ABC dengan tidak mengenakan PPN atas reimbursement tagihan listrik kepada para tenant tersebut telah sesuai dengan ketentuan.

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000, antara lain mengatur:
a. Pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
b. Pasal 1 angka 19 menyatakan bahwa penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
c. Pasal 4 huruf c menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

3. Berdasarkan ketentuan pada butir 2 dan memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1 di atas, dengan ini ditegaskan bahwa atas reimbursement atau penagihan kembali nilai tagihan pemakaian listrik (yaitu penggantian untuk biaya listrik yang telah dibayarkan terlebih dahulu oleh PT ABC atas nama tenant) oleh PT ABC kepada tenant, baik nilai tagihannya sama ataupun lebih besar daripada tagihan dari PT PLN kepada PT ABC, terutang Pajak Pertambahan Nilai karena pada dasarnya reimbursement tersebut merupakan bagian dari kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak berupa persewaan perkantoran dan apartemen yang dilakukan oleh PT ABC.Demikian untuk dimaklumi.

 

A.n. DIREKTUR JENDERAL,
DIREKTUR PPN DAN PTLL,

ttd.

A. SJARIFUDDIN ALSAH

 

...

Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S – 917/PJ.53/2003

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 917/PJ.53/2003

TENTANG

PPN ATAS JASA FREIGHT FORWARDING

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

Sehubungan dengan surat Saudara tanpa Nomor tanggal 26 September 2002 hal Menanyakan Jenis Jasa Kena Pajak dan surat nomor XXX tanggal 31 Oktober 2002 hal Menanyakan Jenis Jasa Kena Pajak, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam surat tersebut Saudara menyampaikan bahwa dalam melaksanakan kegiatan usaha, PT. ABC sering menggunakan jasa angkutan udara ke luar negeri. Pada prakteknya maskapai penerbangan yang digunakan PT. ABC (Garuda, Thai, Gulf Air, dll) tidak memungut PPN dan PT. ABC sebagai agen kargo (freight forwarding) juga tidak memungut PPN dari pelanggan PT. ABC.

Sehubungan dengan hal tersebut Saudara menanyakan:
a. Apakah atas jasa angkutan udara ke luar negeri yang digunakan oleh PT. ABC dalam rangka kegiatan usahanya dikenakan PPN?
b. Meminta penjelasan detail peraturan perpajakannya.
c. Apakah jasa pengiriman barang atau jasa freight forwarding atas pesanan pihak asing dan dibayar oleh pihak asing tersebut termasuk objek Pajak Pertambahan Nilai atau tidak?

2. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000 diatur antara lain:
a. Pasal 1 angka 6, bahwa Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesan yang dikenakan Pajak berdasarkan Undang-undang ini.
b. Pasal 1 angka 17, bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
c. Pasal 1 angka 19, bahwa Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
d. Pasal 4 huruf c, bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan antara lain atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
e. Pasal 4A ayat (3) huruf i, bahwa jasa dibidang angkutan umum di darat dan di air termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
f. Pasal 4A ayat 3 huruf i, bahwa jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, mengatur:
a. Pasal 5, bahwa kelompok jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Jasa pengiriman atau jasa freight forwarding tidak termasuk jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
b. Pasal 5 huruf i, bahwa jasa angkutan umum di darat dan di air tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pasal 13, bahwa jenis jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i adalah jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau swasta. Di dalam memori penjelasannya dijelaskan bahwa jasa angkutan umum di darat dan di air tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, sedangkan jasa angkutan udara dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian jasa angkutan udara luar negeri tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, karena penyerahan jasa tersebut dilakukan di luar Daerah Pabean. Termasuk dalam pengertian jasa angkutan udara luar negeri adalah jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri tersebut.

4. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003, diatur bahwa terdapat kelompok Jasa Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Jasa pengiriman atau jasa freight forwarding tidak termasuk dalam kelompok jasa yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pada butir 2 sampai dengan butir 4 serta memperhatikan surat Saudara pada butir 1, dengan ini ditegaskan bahwa:
a. Jasa angkutan udara luar negeri adalah jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam kasus Saudara adalah jasa yang dilakukan oleh Garuda, Thai, Gulf Air, dan lain-lain kepada PT. ABC dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean adalah jasa angkutan udara yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
b. Jasa freight forwarding yang diberikan PT. ABC kepada pihak asing merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan jasa freight forwarding sebagaimana dimaksud dalam butir b adalah sebesar penggantian yaitu nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta oleh PT. ABC kepada pelanggan atau penerima jasa.
d. Apabila di dalam penggantian sebagaimana dimaksud dalam butir c terdapat suatu jumlah yang ditagih oleh PT. ABC yang berasal dari tagihan pihak ketiga yang dokumennya langsung atas nama pelanggan atau penerima jasa maka jumlah tersebut bukan merupakan penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak, karena dianggap sebagai reimbursment.

 

Demikian untuk dimaklumi.

 

A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR PPN & PTLL,

ttd

I MADE GDE ERATA

 

...

Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S – 1047/PJ.322/2004

Perihal : Penjelasan Pengertian Penggantian Dan Reimbursement
Tanggal Terbit : Thursday, 11 November 2004
Departemen Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pajak

 

11 November 2004
 

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 12 Oktober 2004 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.    Dalam surat tersebut secara garis besar disebutkan bahwa:
a.    PT. ABC telah menerima jawaban dari Dirjen Pajak atas pertanyaan mengenai pengenaan PPN atas tagihan kembali biaya askes dan telah disampaikan oleh PT. ABC kepada XYZ sebagai pengguna jasa.
b.    Jawaban Dirjen Pajak dalam surat Nomor S-490/PJ.322/2004 point 3 B berbunyi : "Atas tagihan kembali biaya askes yang telah dibayarkan terlebih dahulu oleh PT. ABC kepada XYZ Terutang Pajak Pertambahan Nilai karena tagihan tersebut masuk ke dalam penggantian dan bukan merupakan reimbursement". Pihak XYZ berpendapat bahwa atas penagihan kembali biaya askes tersebut merupakan reimbursement sehingga tidak dikenakan PPN.
c.    Berkaitan dengan hal tersebut di atas Saudara mohon penjelasan tentang pengertian penggantian dan reimbursement.

2. Ketentuan-ketentuan perpajakan yang berhubungan dengan permasalahan tersebut di atas adalah:
a.    Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 diatur antara lain:
1)    Pasal 1 angka 19: Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2)    Pasal 4 huruf c: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

3. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas serta memperhatikan isi surat Saudara pada butir 1, dengan ini ditegaskan kembali bahwa:
a.    Dalam hal penggantian terdapat suatu jumlah yang ditagih oleh Pengusaha jasa yang berasal dari tagihan pihak ke tiga yang dokumennya langsung atas nama penerima jasa, maka jumlah tersebut tidak merupakan penggantian yang jadi dasar pengenaan pajak, karena dianggap sebagai reimbursement.
b.    Dalam hal kasus Saudara, yaitu tagihan askes, bukan merupakan reimbursement sehingga tagihan askes tersebut merupakan Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang.
 

Demikian untuk dimaklumi.

 

A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR
ttd
HERRY SUMARDJITO

 

 

...

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017

Pasal 3

(1) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh dari Penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak Penghasilan, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh Penyewa.

(2) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.

(3) Dalam hal Penyewa bukan sebagai pemotong pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan.

(4) Wajib Pajak yang melakukan pemotongan dan membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang wajib menyetorkan dan melaporkan Pajak Penghasilan tersebut.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penyetoran, pelaporan, dan penunjukan Wajib Pajak orang pribadi sebagai Pemotong Pajak Penghasilan, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

...

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017

Pasal 4

(1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan.

(2) Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh Penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.

(3) Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dalam bentuk Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c merupakan nilai Bangunan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah dari Investor.

(4) Nilai Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan berdasarkan nilai yang tertinggi antara nilai pasar dan nilai jual objek pajak Bangunan.

...

Pasal 9 Undang-Undang HPP Nomor 7 Tahun 2021 Bab III Pajak Penghasilan

Pasal 9

(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan;

2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang memenuhi persyaratan tertentu;

 

d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

e. dihapus;

f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

h. Pajak Penghasilan;

i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

k. sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
 

(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

...