Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 Bagian Ketiga Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024

Bagian Ketiga

Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

 

Pasal 71

(1) Setiap Wajib Pajak wajib melakukan pendaftaran pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terpenuhinya persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan untuk diberikan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

(2) Saat terpenuhinya persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. tanggal izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan;

b. tanggal penugasan atau tanggal izin usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan;

c. tanggal efektif berlakunya Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau tanggal Kontrak Kerja Sama ditandatangani dalam hal tidak terdapat tanggal efektif berlakunya kontrak, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi;

d. tanggal izin, kuasa, atau penugasan, yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal kontrak ditandatangani, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;

e. tanggal izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal kontrak atau perjanjian, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara; atau

f. tanggal izin usaha perikanan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal izin perairan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.

(3) Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat identitas Objek Pajak berupa Nomor Objek Pajak.

Pasal 72

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 73

(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilampiri dokumen Objek Pajak.

(2) Dokumen Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan;

b. dokumen penugasan atau izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan;

c. dokumen Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi;

d. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau dokumen kontrak, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;

e. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, dokumen kontrak, atau perjanjian, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara; atau

f. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau di bidang perhubungan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.

Pasal 74

(1) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan penelitian administrasi.

(2) Berdasarkan penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan berupa:

a. menerima permohonan dengan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau

b. menolak permohonan dengan menerbitkan surat penolakan permohonan pendaftaran Objek Pajak,

paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.

(3) Dalam hal Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.

Pasal 75

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan Pemeriksaan atau penelitian administrasi.

(2) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kewenangan secara jabatan.

(3) Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

Pasal 76

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan perubahan data objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

(2) Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 77

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Objek Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan.

(2) Permohonan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(3) Permohonan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), yang sudah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan masa berlakunya.

(4) Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.

(5) Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan atas permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi.

(6) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan berupa:

a. menerima permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat keputusan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau

b. menolak permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat penolakan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.

(8) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

(9) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berakhir.

Pasal 78

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan/atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan untuk Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan Pajak Bumi dan Bangunan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.

(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebelum dan/atau setelah pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, apabila setelah pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan Pajak Bumi dan Bangunan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.

(3) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan/atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya Tahun Pajak.

Pasal 79

(1) Wajib Pajak wajib melakukan pelaporan atas Objek Pajak yang telah terdaftar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap Tahun Pajak.

(3) Tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh Wajib Pajak, meliputi:

a. tanggal 1 Februari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;

b. tanggal 31 Maret Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya; atau

c. tanggal Objek Pajak terdaftar sebagaimana tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dalam hal Pendaftaran Objek Pajak diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan setelah 1 Februari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau tanggal 31 Maret Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan terpenuhi kondisi saat terutang Pajak Bumi dan Bangunan menurut keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.

Pasal 80

(1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) merupakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik.

(2) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.

(3) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik kepada Wajib Pajak.

(4) Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui:

a. Portal Wajib Pajak; atau

b. laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.

(5) Tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan elektronik.

Pasal 81

(1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) wajib diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak.

(2) Jelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa pengisian data dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri.

(3) Benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa semua data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

(4) Lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa Surat Pemberitahuan Objek Pajak memuat semua unsur yang harus dilaporkan dan dilampiri dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.

Pasal 82

(1) Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) tidak dapat dipenuhi, Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.

(2) Surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterima sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) berakhir.

(3) Penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) berakhir.

Pasal 83

(1) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), dan Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.

(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.

(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal dikirimnya surat teguran ke Akun Wajib Pajak.

(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kantor Pelayanan Pajak membuat analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.

Pasal 84

(1) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, meliputi:

a. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan; dan

b. laporan perkembangan usaha perkebunan dan peta tahun tanam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang dalam format tertentu.

(2) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, meliputi:

a. dokumen izin atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission;

b. rencana kerja usaha Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang;dan

c. rencana kerja tahunan beserta peta kerja Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang atau tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang dalam format tertentu.

(3) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, meliputi:

a. dokumen Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama;

b. peta wilayah kerja minyak dan gas bumi dalam format tertentu;

c. authorization for expenditure, dan financial quarterly report triwulan IV tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang; dan

d. dokumen kontrak atau perjanjian jual beli gas untuk pertambangan gas bumi tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.

(4) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, meliputi:

a. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau dokumen kontrak;

b. peta wilayah kerja panas bumi dalam format tertentu; dan

c. rencana kerja dan anggaran biaya Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.

(5) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, meliputi:

a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, dokumen kontrak atau perjanjian; dan

b. rencana kerja dan anggaran biaya tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.

(6) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya, meliputi:

a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau bidang perhubungan; dan

b. dokumen lain yang menjadi dasar pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.

(7) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak jika sudah dilampirkan pada saat pendaftaran atau sudah dilaporkan pada saat pelaporan data Objek Pajak pada Tahun Pajak sebelumnya.

(8) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak jika tidak ada perubahan.

(9) Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) yang belum dapat dilampirkan, Surat Pemberitahuan Objek Pajak dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:

a. ditandatangani oleh Wajib Pajak;

b. mencantumkan jenis dokumen yang belum dapat dilampirkan;

c. menjelaskan alasan belum dapat dilampirkannya dokumen dimaksud; dan

d. menyatakan akan menyampaikan dokumen dimaksud paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak:

1. berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1);

2. Surat Pemberitahuan Objek Pajak disampaikan oleh Wajib Pajak melalui penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak; atau

3. Surat Pemberitahuan Objek Pajak disampaikan oleh Wajib Pajak setelah diterbitkan surat teguran penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.

Pasal 85

(1) Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian formal terhadap Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak, atas:

a. kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak;

b. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;

c. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang dilengkapi dengan dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84; dan

d. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pasal 82 ayat (3), atau Pasal 83 ayat (3).

(2) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan elektronik.

(3) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Surat Pemberitahuan Objek Pajak dianggap tidak disampaikan.

Pasal 86

(1) Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar melakukan penelitian material terhadap Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak dan telah dilakukan penelitian formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1).

(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat indikasi kewajiban perpajakan dalam pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar dapat meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak.

(3) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan dan menyampaikan surat permintaan klarifikasi.

(4) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan dengan melakukan peninjauan Objek Pajak.

(5) Berdasarkan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak menanggapi dengan:

a. membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi; dan/atau

b. melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak.

(6) Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar membuat laporan pelaksanaan klarifikasi berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(7) Laporan pelaksanaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat digunakan sebagai bahan analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan dalam hal:

a. Wajib Pajak tidak membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a;

b. Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b; atau

c. Wajib Pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b tetapi tidak sesuai dengan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 87

(1) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan.

(2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1).

(3) Dalam hal surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5) huruf b disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi.

(4) Tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal dikirimnya surat permintaan klarifikasi ke Akun Wajib Pajak.

Pasal 88

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) atau ayat (3).

(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan disampaikan Wajib Pajak melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan dianggap tidak disampaikan.

Pasal 89

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pendataan terhadap Objek Pajak yang telah terdaftar.

(2) Jenis Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Pendataan kantor; dan/atau

b. Pendataan lapangan.

(3) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas Pendataan.

(4) Hasil Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.

Pasal 90

(1) Pendataan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara mengolah data Objek Pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan/atau mengolah data dan informasi yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.

(2) Ruang lingkup Pendataan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pengumpulan data; dan

b. pemetaan.

(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan yang meliputi:

a. pengumpulan data Objek Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1); dan

b. pengolahan data Objek Pajak yang bersumber dari Instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.

(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengkonversian peta Objek Pajak, yang meliputi:

a. transformasi antar sistem proyeksi; dan/atau

b. digitasi peta analog ke peta digital.

Pasal 91

(1) Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara melakukan peninjauan pada lokasi fisik Objek Pajak dan/atau lokasi lain di luar lokasi fisik Objek Pajak, atas data Objek Pajak yang seharusnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).

(2) Ruang lingkup Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pengumpulan data; dan

b. pemetaan.

(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan pengumpulan data Objek Pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).

(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengukuran Objek Pajak, yang meliputi:

a. pengukuran menggunakan sistem pengukuran berbasis satelit;

b. pengukuran dengan bantuan data penginderaan jauh; dan/atau

c. pengukuran dengan alat ukur manual.

Pasal 92

(1) Dalam hal Wajib Pajak menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Pendataan membuat berita acara penolakan Pendataan yang ditandatangani oleh petugas Pendataan.

(3) Dalam hal Wajib Pajak menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas Pendataan tetap melakukan Pendataan berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki dan/atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.

(4) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.

Pasal 93

Laporan hasil Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 92 ayat (4) merupakan dokumen yang dapat digunakan sebagai:

a. bahan penelitian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1); atau

b. bahan analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.

...

Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 94 TAHUN 2010

 

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN

PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1**

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

 

BAB II

OBJEK PAJAK

Pasal 2

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:

kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan

kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-­Undang Pajak Penghasilan.

Penjelasan Pasal 2:

Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.

Oleh karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.

Pasal 3

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

Pasal 4

(1) Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek pajak.

(2) Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan pengurang dari penghasilan bruto.

Penjelasan Pasal 4:

Ayat (1)

Contoh: PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00 (terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan ekspansi yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal saham dengan menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp 1000,00/lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp1.500,00) sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio saham oleh PT A.

Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.

Ayat (2)

Contoh: Seperti pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut sebesar Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan sebagai disagio saham oleh PT A.

Atas disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.

Pasal 5

(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.

(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan Subjek Pajak luar negeri.

Pasal 6

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 7:

Ayat (1)

Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs, penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.

Pasal 8

(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:

a. usaha;

b. pekerjaan; atau

c. kepemilikan atau penguasaan.

(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.

(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.

(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c terjadi apabila terdapat:

a. penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau

b. hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Penjelasan Pasal 8:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pihak-pihak yang bersangkutan" adalah Wajib Pajak pemberi dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan atau harta hibahan.

Ayat (2)

Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Ayat (3)

Contoh hubungan berkenaan dengan pekerjaan:

 1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan pegawai PT X. Dalam hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C terdapat hubungan pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan langsung.

2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai PT X, namun antara PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung. Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung.

Ayat (4)

Huruf b

Contoh: 1. Penguasaan manajemen secara langsung:

Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah komisaris PT X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan Tuan B sebagai komisaris di PT Y.

Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi direktur PT X dan komisaris PT Y.

Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena Tuan B selain bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.

Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur di PT AA.

Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.

Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B (ayah) dan Tuan B Junior (anak).

Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak memilki hubungan penguasaan.

Contoh: 2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:

Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB. Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan PT X.

Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.

BAB III

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Pasal 9

 

(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:

a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau

b. tidak termasuk objek pajak,

tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.

(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:

a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau

b. tidak termasuk objek pajak,

diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Penjelasan Pasal 9:

Ayat (2)

Contoh: PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.

Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$. Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$ 1,000 x Rp9.000,00).

Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$, sehingga nilai sewa yang dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000 x Rp8.700,00).

Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal pembayaran timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).

Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

Ayat (3)

Contoh: PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September 2010 mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan masing-masing sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000 untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya karena:

tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan apartemen yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan

merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 10

(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:

a. benar-benar telah dibayar; dan

b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Pasal 11

(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.

(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan pada saat ternak dijual.

Penjelasan Pasal 11:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "biaya pengembangan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran tanaman sampai dijual.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak sampai dijual.

 

Pasal 12

(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:

a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;

b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;

c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan

d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Penjelasan Pasal 12:

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 13

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:

a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:

1) bukan merupakan objek pajak;

2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau

3) dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

Penjelasan Pasal 13:

Huruf a

Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

BAB IV

PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

Pasal 14

Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:

a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

b. melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan; dan

c. melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

Penjelasan Pasal 14:

Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

 

BAB V

PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

MELALUI PIHAK LAIN

Pasal 15

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:

a. terjadinya pembayaran; atau

b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:

a. pembayaran; atau

b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.

(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-­Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:

a. dibayarkannya penghasilan;

b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau

c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:

a. dibayarkannya penghasilan;

b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau

c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Penjelasan Pasal 15:

Ayat (3)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":

a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.

b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date).

Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Ayat (4)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":

a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan

b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date).

Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Pasal 16

Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-­Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.

Penjelasan Pasal 16:

Contoh:

Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun. Jatuh tempo pembayaran bunga setiap tanggal l April dan 1 Oktober.

Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00 (bunga selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh tempo pembayaran pada tanggal l April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00) dan kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.

Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut, dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.

Pasal 17

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 17:

Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts revenues). Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.

Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal tertentu" antara lain:

a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijakan Pemerintah; atau

b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

Pasal 18

(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan.

(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 19

Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Penjelasan Pasal 19:

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang menyatakan bahwa atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Penjelasan Pasal 20:

Contoh:

Tuan A, subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00 sehubungan dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x Rp20.000.000,00).

Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009 dan 2010. Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut, Tuan A hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.

Pasal 21

(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:

a. mengalami kerugian fiskal;

b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau

c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,

dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.

(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Penjelasan Pasal 21:

Ayat (2)

Contoh: Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata-­mata dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan untuk kegiatan jasa konstruksi. Atas impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 22

Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan.

Penjelasan Pasal 22:

Contoh: Penghasilan neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar Rp7.500.000.000,00.
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:

 

 

Uraian

PPh Pasal 17

PPh Pasal 26 (4)

Penghasilan Neto Komersial

16.000.000.000,00

 

Penyesuaian Fiskal Positif

1.500.000.000,00

 

Penghasilan Neto Fiskal

17.500.000.000,00

 

Kompensasi Kerugian

7.500.000.000,00

 

Penghasilan Kena Pajak

10.000.000.000,00

 

PPh Badan Terutang 28%

2.800.000.000,00

 

PKP setelah dikurangi pajak

 

7.200.000.000,00

PPh Pasal 26 (4) = 20%

 

1.440.000.000,00

 

Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00 tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).

 

Pasal 23

(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Penjelasan Pasal 23:

Ayat (1)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

BAB VI

PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DAN PERTUKARAN INFORMASI

Pasal 24

(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:

a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau

b. dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,

yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Penjelasan Pasal 24:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Domisili" atau yang disebut dengan certificate of resident adalah surat keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Pasal 25

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Penjelasan Pasal 25:

Ayat (1)

Pertukaran informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in collection of taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Pasal 26

(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.

(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB VII

PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU

Pasal 27

(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:

a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;

b. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau

c. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional.

Penjelasan Pasal 27:

Ayat (1)

Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh huruf c:

PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.

Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

Ayat (2)

Biaya bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya.

Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.

Contoh:

PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:     

a. penghasilan dari usaha yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final Rp300.000.000,00

b. penghasilan bruto lainnya yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final Rp200.000.000,00

Jumlah penghasilan bruto: Rp 500.000.000,00

Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar: 2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp100.000.000,00

Pasal 28

(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.

(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak berikutnya.

Penjelasan Pasal 28:

Ayat (1)

Contoh: Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009· sarnpai dengan 30 Juni 2010 (tahun buku 2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah disetujui Direktur Jenderal Pajak rnenjadi 1 Oktober 2009 sarnpai dengan 30 September 2010 (tahun buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010 sampai dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.

Ayat (2)

Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru, dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

 

Contoh: Tahun buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana mengubah tahun buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak 2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007

Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan September 2007) dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai dengan 2011 sebagai berikut:

Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008)

Tahun Pajak II: 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009)

Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan dengan Desember 2009)

Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010)

Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).

Pasal 29*

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Pasal 29A*

Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang:

a. merupakan industri padat karya; dan

b. tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan atau fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1),

dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha utama, yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.

 

 

Pasal 29B*

(1) Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran.

(2) Kompetensi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kompetensi untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui program praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran yang strategis untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia, dan memenuhi struktur kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan/atau dunia industri.

Penjelasan Pasal 29B:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “praktik kerja atau pemagangan” adalah praktik kerja atau pemagangan pada tempat usaha Wajib Pajak badan dalam negeri yang menyediakan fasilitas praktik kerja atau pemagangan.

Peserta praktik kerja atau pemagangan terdiri atas:

 a. siswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di sekolah menengah kejuruan atau madrasah aliyah kejuruan;

 b. mahasiswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi;

 c. peserta latih, instruktur, dan/atau tenaga kepelatihan di balai latihan kerja; dan/atau

 d. perorangan yang tidak terikat hubungan kerja dengan pihak manapun yang dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

Yang dimaksud dengan “pembelajaran” adalah kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh pihak yang ditugaskan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk mengajar di sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, dan/atau balai latihan kerja.

Pasal 29C*

(1) Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% (tiga ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.

(2) Kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia untuk menghasilkan invensi, menghasilkan inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional.

Pasal 30*

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian:

a. fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1);

b. fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29A;

c. pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29B ayat (1); dan

d. pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29C ayat (1),

diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31

Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 32

Penghitungan pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 33

Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.

 

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 35

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd.

 

PATRIALIS AKBAR

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-130/PJ/2010

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR : SE - 130/PJ/2010

TENTANG

PENEGASAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN HAK ATAS BARANG KENA PAJAK YANG BERADA DI LUAR DAERAH PABEAN

 

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

 

Dalam rangka memberikan pemahaman dan penerapan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang sama atas penyerahan Barang Kena Pajak dan hak atas Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) masih berada di luar Daerah Pabean, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, antara lain diatur hal-hal sebagai berikut :

a. Pasal 4 ayat (1) huruf a, bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Selanjutnya dalam memori penjelasannya antara lain ditegaskan bahwa penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

- barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

- penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

- penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

b. Pasal 4 ayat (1) huruf b, bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas impor Barang Kena Pajak. Selanjutnya dalam memori penjelasannya, antara lain ditegaskan bahwa siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.

c. Pasal 1A huruf a, bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian. Selanjutnya dalam memori penjelasannya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan "perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.

2. Dari ketentuan sebagaimana tersebut pada angka 1 dapat disimpulkan bahwa:

a. Ada tiga syarat yang harus terpenuhi agar penyerahan barang dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

1) barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

3) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

b. Ketiga syarat tersebut pada angka 2 huruf a bersifat kumulatif. Dengan demikian apabila ada satu atau lebih syarat tersebut tidak terpenuhi maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

c. Ketentuan dalam Pasal 1 A sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf c di atas terikat dengan ketentuan dalam Pasal 4 huruf a sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a.

3. Dengan demikian apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan transaksi :

a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di luar Daerah Pabean; atau

b. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di Luar Daerah Pabean,

yang dibuktikan dengan akta atau bukti otentik yang mendukung fakta terjadinya transaksi tersebut, tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

 

Contoh satu

PT A (PKP terdaftar di KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Dua) menandatangani kontrak jual beli 10 (sepuluh) unit forklift dengan PT B (Wajib Pajak terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua). Dalam kontrak antara lain disepakati hal-hal sebagai berikut :

  • PT A akan membeli forklift tersebut dari pabrikan di Jepang, dan meminta pabrikan mengirimkan barang tersebut ke Gudang PT B di Singapura;
  • Barang tersebut akan dimodifikasi oleh PT B sebelum dikirim ke pabrik PT B di Karawang;
  • Impor barang dan dokumen pabean diurus dan atas nama PT B.

Atas transaksi penyerahan forklift oleh PT A kepada PT B tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

 

Contoh dua

PT Y (PKP terdaftar di KPP Pratama Jakarta Senen) menandatangani kontrak jual beli 1 unit bangunan kantor yang berada di Orchid Road Singapura dengan PT X (Wajib Pajak terdaftar di KPP Pratama Bogor). Kontrak jual beli dibuat dan ditandatangani di Jakarta. Selanjutnya proses teknis pengalihan hak atas bangunan tersebut akan diurus oleh konsultan W sesuai dengan hukum yang berlaku di Singapura. Atas transaksi penyerahan hak atas bangunan kantor yang berada di Singapura tersebut dari PT Y kepada PT X tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

4. Dalam hal Barang Kena Pajak yang telah diserahkan sebagaimana dimaksud pada angka 3 kemudian dimasukkan ke dalam Daerah Pabean, atas kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak (Impor) tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh orang yang memasukkan atau mengimpor Barang Kena Pajak tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang berada di luar Daerah Pabean wajib melaporkan penyerahan tersebut pada bagian I huruf B (penyerahan yang tidak terutang PPN) dalam formulir Induk SPT Masa PPN.

6. Surat-surat penegasan yang bertentangan dengan subtansi ketentuan yang ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya, serta disebarluaskan dalam wilayah kerja Saudara masing-masing.

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 November 2010

Direktur Jenderal,

ttd

Mochamad Tjiptardjo

NIP 195104281975121002

 

Tembusan :

Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;

Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;

Kepala Biro Hukum Kementerian Keuangan;

Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan;

Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;

Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;

Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.42/2002

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE-04/PJ.42/2002

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA

WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan atas pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak, untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

3. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan antara lain:

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

4. Berdasarkan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000, diatur sebagai berikut:

Ayat (1):

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.

Ayat (2):

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut:

a. Imbalan bunga yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan;

b. Pengembalian sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi serta sanksi pidana berupa denda, adalah bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan karena atas pembayaran sanksi tersebut sebelumnya tidak dapat dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

 

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

 

2 April 2002

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

HADI POERNOMO

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-46/PB/2005

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN

NOMOR SE - 46/PB/2005

TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN,

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2005 tanggal 6 Juni 2005 tentang Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga Kepada Wajib Pajak (terlampir), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) dibuat dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukan sebagai berikut :

a. Lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN;

b. Lembar ke-3 untuk Wajib Pajak yang bersangkutan;

c. Lembar ke-4 untuk arsip KPP yang menerbitkan SPMIB;

2. SPMIB dibebankan pada Mata Anggaran Pengeluaran (MAK) Belanja Pembayaran Imbalan Bunga Pajak (SPMIB Pajak) dengan kode 541121 sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tanggal 16 Pebruari 2005.

3. KPPN menerbitkan SP2D paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak SKPIB lembar ke-2 dan SPMIB diterima secara lengkap dan benar.

4. Pembayaran kepada yang berhak dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari rekening Kas Negara A pada Bank Operasional I (BO I) ke rekening yang berhak sesuai yang tercantum pada SPMIB.

5. Formulir SPMIB sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 683/KMK.03/2001 tetap dipergunakan sampai dengan tanggal 31 Mei 2005, tetapi peruntukannya disesuaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan ini.

6. Terhadap SPMIB yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan lembar ke-1 dan ke-2 telah disampaikan ke BO I namun belum ditunaikan, agar ditarik dari BO I oleh KPPN untuk selanjutnya diteliti kembali terutama spesimen tanda tangan yang berwenang menandatangani SKPIB dan SPMIB untuk kemudian diterbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

7. Terhadap SPMIB yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, namun lembar ke-1 dan ke-2 belum disampaikan ke BO I, agar segera disampaikan oleh KPP ke KPPN untuk diterbitkan SP2D.

8. Pejabat Ditjen Perbendaharaan yang melakukan keterlambatan dalam penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud pada angka 3 (tiga) dikenakan sanksi kepegawaian sesuai ketentuan yang berlaku.

9. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka SE DJA Nomor : SE-68/A/2002 tanggal 17 Mei 2002 dinyatakan tidak berlaku.

Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan agar mengawasi pelaksanaan Surat Edaran ini.

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 16 Juni 2005

Direktur Jenderal,

ttd.

Mulia P. Nasution

NIP. 060046519

...

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.33/2005

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE – 01/PJ.33/2005

TENTANG

PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pomotongan PPh Pasal 23 atas pemberian imbalan bunga berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut:

  1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
  2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
    1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
    2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
    3. royalti;
    4. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
  3. Berdasarkan butir 5 a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-04/PJ.42/2002 tanggal 02 April 2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pemberian Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak, imbalan bunga yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan.
  4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan, tetapi bukan merupakan Objek Pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, imbalan bunga tersebut merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan.
  5. Selanjutnya Kepala KPP yang menerbitkan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga kepada Wajib ‘Pajak, agar membuat Alat Keterangan (KP Data) pembayaran imbalan bunga untuk memastikan bahwa imbalan bunga tersebut dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan untuk tahun pajak diterimanya imbalan bunga.

 

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal,
ttd

Hadi Poernomo
NIP 060027375

 

...