Transakasi sewa kantor merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; …”
Terkait dengan tarif, dasar pengenaan pajak (DPP), kewajiban pihak pemotong, dan teknis lainnya di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 Tentang PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Tarif 10% dari jumlah bruto sewa kantor. (Pasal 4 ayat (1) PP 34/2017)
Jumlah bruto yang di maksud adalah semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh Penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. (Pasal 4 ayat (2) PP 34/2017)
PPh Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% atas transaksi sewa kantor di potong oleh pihak penyewa.
Pemotong pajak meliputi:
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), kerja sama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan
Dalam hal Penyewa bukan sebagai pemotong pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan. (Pasal 3 PP 34/2017)
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Pajak Penghasilan
- PP Nomor 34 Tahun 2017
...