Hasil untuk category "PBB"

Pembagian Hasil Penerimaan PBB

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting. Namun, hasil penerimaan PBB tidak hanya menjadi hak pemerintah pusat, melainkan dibagi dengan pemerintah daerah melalui mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pembagian hasil penerimaan PBB diatur dalam Pasal 18 angka 1 UU PBB yang menyatakan bahwa hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 yang memberikan rincian teknis mengenai mekanisme pembagian tersebut.

Pemerintah telah menetapkan formula pembagian hasil PBB dengan proporsi yang sangat menguntungkan daerah. Dari total penerimaan PBB, pembagiannya adalah:

  • 10% untuk Pemerintah Pusat
  • 90% untuk Pemerintah Daerah

Komposisi ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung desentralisasi fiskal dan memperkuat kapasitas keuangan daerah.

Rincian Pembagian 90% Bagian Daerah

Bagian daerah sebesar 90% tidak diberikan dalam satu kesatuan, melainkan dipecah menjadi tiga komponen:

  1. Bagian Pemerintah Provinsi (16,2%)
  2. Bagian Pemerintah Kabupaten/Kota (64,8%)
  3. Biaya Pemungutan (9%)

Mekanisme Pembagian 10% Bagian Pemerintah Pusat

Meskipun disebut sebagai bagian pemerintah pusat, dana 10% ini sebenarnya juga didistribusikan kembali kepada seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Pembagian dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan formula sebagai berikut:

Pembagian Merata (65%)

Sebesar 65% dari bagian pemerintah pusat dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Mekanisme ini memastikan bahwa semua daerah, terlepas dari potensi PBB-nya, mendapat manfaat dari penerimaan pajak nasional.

Pembagian Berbasis Insentif (35%)

Sisanya sebesar 35% diberikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten/kota yang berhasil mencapai atau melampaui target penerimaan PBB pada tahun anggaran sebelumnya. Sistem insentif ini bertujuan mendorong kinerja pemungutan pajak di daerah.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini

...

Penerbitan SKP PBB Setelah Pemeriksaan: Bagaimana perhitungannya?

Setelah memperoleh keterangan lain, tidak jarang terjadi perbedaan antara nilai pajak yang ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Ketika hal ini terjadi, otoritas pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk menagih selisih pajak beserta sanksi yang berlaku.

Sebagai contoh: Tuan B telah menerima SPPT PBB berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) yang disampaikannya dengan nilai pajak terutang sebesar Rp100.000.000. Sebagai wajib pajak yang patuh, Tuan B telah melunasi seluruh PBB terutang sesuai dengan SPPT tersebut.

Namun, setelah dilakukan pemeriksaan oleh petugas pajak, ternyata ditemukan bahwa pajak yang seharusnya terutang adalah sebesar Rp150.000.000. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan: berapa jumlah pajak yang akan ditagih dalam SKP yang akan diterbitkan untuk Tuan B?

Perhitungan Pajak Terutang dalam SKP

Berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat selisih pajak terutang:

  • Pajak terutang berdasarkan SPPT: Rp100.000.000
  • Pajak terutang berdasarkan pemeriksaan: Rp150.000.000
  • Selisih pajak terutang: Rp50.000.000

Atas selisih pajak terutang sebesar Rp50.000.000 tersebut, akan dikenakan denda administrasi sebesar 25%, yaitu Rp12.500.000. Dengan demikian, total pajak yang terhutang dalam SKP adalah Rp62.500.000, yang terdiri dari selisih pajak terutang ditambah denda administrasi.

Dasar Hukum Penerbitan SKP PBB

Pasal 10 ayat (2) UU PBB

"Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah di tegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  2. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak."

Dalam kasus Tuan B, penerbitan SKP didasarkan pada poin kedua, yaitu adanya perbedaan antara pajak yang dihitung berdasarkan SPOP dengan hasil pemeriksaan.

Pasal 10 ayat (4) UU PBB

"Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang."

Pasal ini secara tegas mengatur bahwa SKP yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan hanya berisi selisih pajak terutang ditambah denda administrasi 25%, bukan keseluruhan pajak terutang.

 

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

 

...

Terlambat Bayar PBB? Ini Konsekuensi dan Cara Menghitung Dendanya

Studi Kasus:

Tuan A menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB pada 10 Mei 2024 dengan nilai pajak terutang sebesar Rp1.000.000. Namun, karena berbagai kesibukan, beliau baru sempat melakukan pembayaran pada 10 Desember 2024. Pertanyaannya, apa konsekuensi yang harus dihadapi Tuan A?

Konsekuensi Keterlambatan:

Meskipun Tuan A sudah membayar hutang pokok PBB sebesar Rp1.000.000 pada 10 Desember 2024, beliau akan menerima Surat Tagihan Pajak (STP) yang berisi tagihan denda administrasi sebesar Rp40.000. Ini karena pembayaran dilakukan setelah melewati jatuh tempo yang ditetapkan.

Cara Menghitung Denda PBB

Perhitungan denda sebesar Rp40.000 diperoleh dengan rumus: 2% × 2 bulan × Rp1.000.000 = Rp40.000

Mengapa dihitung 2 bulan? Ini berkaitan dengan mekanisme perhitungan jatuh tempo dan keterlambatan dalam sistem perpajakan Indonesia.

Memahami Jatuh Tempo Pembayaran PBB

Berdasarkan Undang-Undang PBB, jatuh tempo pembayaran SPPT adalah 6 bulan sejak tanggal diterima. Dalam kasus Tuan A:

  • Tanggal terima SPPT: 10 Mei 2024
  • Jatuh tempo pembayaran: 9 November 2024 (6 bulan kemudian)
  • Tanggal pembayaran aktual: 10 Desember 2024
  • Keterlambatan: 1 bulan 1 hari

Yang menarik, dalam sistem perpajakan Indonesia, keterlambatan 1 hari saja sudah dihitung sebagai 1 bulan penuh. Oleh karena itu, keterlambatan 1 bulan 1 hari dihitung sebagai 2 bulan untuk keperluan pengenaan denda.

Landasan Hukum Pengenaan Denda PBB

Pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran PBB memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan Undang-Undang PBB:

Pasal 10 ayat (1) UU PBB

"Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang."

Pasal ini mengatur tentang penerbitan SPPT berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan wajib pajak.

Pasal 11 ayat (1) UU PBB

"Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak."

Ketentuan ini menetapkan bahwa pajak PBB harus dibayar dalam waktu maksimal 6 bulan sejak SPPT diterima wajib pajak.

Pasal 11 ayat (3) UU PBB

"Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan."

Pasal inilah yang menjadi dasar pengenaan denda 2% per bulan atas keterlambatan pembayaran PBB, dengan maksimal pengenaan denda selama 24 bulan.

Pasal 11 ayat (4) UU PBB

"Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak."

Ketentuan ini mengatur bahwa denda administrasi beserta hutang pajak akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak yang harus dibayar dalam waktu 1 bulan sejak diterima

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...