Hasil untuk category "Dispute"

Dilema Usaha Pusat Kebugaran Termasuk Pajak Pusat atau Pajak Daerah?

Kami ada usaha fitness center sejak 2017. Tahun 2020 kami mendapat SP2DK yang intinya di minta membayar PPN karena kami sudah PKP. Bukankah usaha fitness center bayarnya pajak daerah dan bukan objek PPN ya? Mohon bantuan solusinya pak. 

Terima kasih banyak atas pertanyaan yang saudara berikan terkait usaha pusat kebugaran (fitness center).

Sebelum terbitnya Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) Nomor 7 Tahun 2021, perlakuan pajak atas usaha pusat kebugaran atau fitness center memang mengalami tarik ulur, antara masuk dalam pajak pusat atau pajak daerah. Hal ini di karenakan terdapat perbedaan definisi “hiburan” dalam PKM nomor PMK-158/PMK.010/2015 dan UU PDRD 2009. 

Dalam Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat 3, salah satu jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa kesenian dan hiburan.  Ketentuan ini dijelaskan lebih lanjut dalam PMK-158/PMK.010/2015, dimana ditegaskan jenis jasa yang tidak dikenai PPN secara umum bersifat tontonan. Pasal 2 ayat (2) PMK 158/2015 berbunyi: "Termasuk jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hiburan yang meliputi: 

  • a. tontonan film; 
  • b. tontonan pagelaran kesenian, tontonan pagelaran musik, tontonan pagelaran tari, dan/ atau tontonan pagelaran busana; 
  • c. tontonan kontes kecantikan, tontonan kontes binaraga, dan tontonan kontes sejenisnya; 
  • d. tontonan berupa pameran; 
  • e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; 
  • f. tontonan pertunjukan sirkus, tontonan pertunjukan akrobat, dan tontonan pertunjukan sulap; 
  • g. tontonan pertandingan pacuan kuda, tontonan pertandingan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; dan 
  • h. tontonan pertandingan olahraga."

Sementara itu pajak hiburan menurut UU PDRD 2009 pasal 42 berbunyi " 

(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran. 

(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 

  • a. tontonan film; 
  • b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
  • c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya; 
  • d. pameran; 
  • e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; 
  • f. sirkus, akrobat, dan sulap; 
  • g. permainan bilyar, golf, dan boling; 
  • h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; 
  • i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan 
  • j. pertandingan olahraga.

Jika kita melihat dari 2 peraturan tersebut akan menemui masalahnya. Pertama, dalam PMK 158/2015 pusat kebugaran tidak masuk dalam jasa yang tidak dikenakan PPN, artinya atas usaha fitness center termasuk objek PPN. Kedua, dalam UU PDRD tahun 2009 pusat kebugaran termasuk dalam jasa hiburan yang dikenai pajak daerah. Hal tersebut jelas akan merugikan wajib pajak karena berpotensi terkena pajak ganda (PPN dan Pajak Daerah). Wajib pajak yang menjalankan usaha pada periode 2009-2021 kemungkinan besar akan menemui masalah ini untuk ditarik ulur perpajakannya. 

Namun setelah diberlakukannya UU HPP pada tahun 2022 dan diperjelas dengan PMK Nomor 70/PMK.03/2022 seharusnya sudah tidak ada lagi tarik ulur pajak atas pusat kebugaran (fitness center). Karena memang seharusnya pusat kebugaran (fitness center) termasuk pajak daerah. 

Pasal 5 ayat (1) PMK 70/2022 berbunyi: "Jasa tertentu dalam kelompok jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi:

  • a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
  • b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
  • c. kontes kecantikan;
  • d. kontes binaraga;
  • e. pameran;
  • f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
  • g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
  • h. permainan ketangkasan;
  • i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
  • j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
  • k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
  • l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau perawatan dengan air (spa).

Pajak ganda ini sebenarnya tidak perlu terjadi dengan referensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XI/2013, yang menguatkan pusat kebugaran sebagai objek Pajak Hiburan. Salah satu alasan yang diajukan oleh Pemohon uji materi adalah dengan berlakunya UU PDRD 2009 akan mengakibatkan pajak ganda. Dalam tanggapannya, Pemerintah menyatakan bahwa berdasarkan empat fitur identik kriteria terjadinya pajak ganda (Wajib Pajak, objek pajak, jenis pajak dan masa pajak), tidak terdapat pajak ganda dari Pajak Hiburan atas pusat kebugaran dengan pajak ataupun pungutan lainnya. Khusus untuk PPN, dengan dimasukkannya pusat kebugaran menjadi objek Pajak Hiburan berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU PDRD 2009, yang diikuti dengan ketentuan serupa dalam Pasal 4A ayat (3) huruf h UU PPN 2009 dengan mengecualikan jasa kesenian dan hiburan dari pengenaan PPN, maka seharusnya tidak ada pajak berganda atas jasa penyelenggaraan pusat kebugaran.

Semoga tulisan ini menjawab. Terima kasih.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
  • PMK 158/PMK.010/2015
  • PMK 70/PMK.03/2022

 

Topik: fitness center, pajak daerah, pajak pusat, ppn

...

Perbedaan interpretasi objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga part 2 Full

Persoalan pengenaan pajak atas transaksi sewa lapangan olahraga seperti: sewa lapangan futsal, sewa lapangan badminton, sewa lapangan tenis, atau sewa lapangan olahraga lainnya, dianggap masih belum menemui titik terang yang jelas. Muncul perbedaan interpretasi dalam memandang objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga. Terdapat pihak yang menganggap bahwa transaksi sewa lapangan olahraga merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, sementara pihak lain memandang bahwa transaksi sewa lapangan olahraga bukan merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, melainkan objek pajak penghasilan pasal 23 atau PPh final PP 23/2018 untuk WP tertentu. 

Pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba memaparkan sudut pandang dari kedua belah pihak tersebut yang kemudian dapat disimpulkan untuk digunakan para pihak dalam mengambil keputusan. Penulis akan membagi kedua pihak dengan penjelasan sebagai berikut:

  • Pihak A - Pihak yang setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2
  • Pihak B - Pihak yang tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2

Argumentasi Pihak B

Dasar alasan pihak B tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 pasal 1 yang terakhir diubah ke Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017, karena dalam pasal tersebut merupakan positive list. Bunyi pasal 1 "Atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa: 

  1. tanah 
  2. rumah
  3. rumah susun
  4. apartemen
  5. kondonium
  6. gedung perkantoran
  7. toko 
  8. rumah toko 
  9. gudang dan 
  10. dan industri wajib dibayar Pajak Penghasilan" (PPh final pasal 4 ayat 2)

Karena lapangan olahraga tidak ada dalam list pasal 1 tersebut maka sewa lapangan olahraga termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008. 

Pihak B bukan tanpa alasan menganggap pasal tersebut merupakan positive list. Pertama, jika bukan positive list kenapa harus dijelaskan tanah dan bangunan berupa 10 list yang disebutkan diatas. Kedua, hal tersebut di kuatkan dengan histori peraturan terkait sebagaimana dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 pasal 1 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002 pasal 2, terdapat penambahan list yang dikeai pph final pasal 4 ayat (2). KEP-227/PJ/2002 sampai tulisan ini diterbitkan masih berlaku.

Bunyi pasal tersebut “Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final”. 

Jika bukan positive list kenapa harus ada penambahan kata “pertemuan termasuk bagiannya & rumah kantor” dalam pasal 1 dan 2. Seolah kalimat penjelas dalam bentuk list tersebut tidak bermakna. Dengan adanya penambahan kata-kata tersebut menguatkan bahwa pasal 1 PP 29/1996, KMK 394/1996 dan pasal 2 KEP 227/2002 merupakan positive list. Karena sewa lapangan olahraga juga tidak masuk dalam rincian pasal tersebut maka atas sewa lapangan olahraga bukan termasuk objek pajak pph final pasal 4 ayat 2, melainkan termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008.

Argumentasi Pihak A

Dasar yang digunakan pihak A dalam melihat objek pajak sewa lapangan olahraga adalah Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 (PP 34/2017) yang berbunyi “Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final”.

Hal tersebut pernah juga di tanyakan oleh salah satu netizen ke twitter resmi @kring_pajak dengan pertanyaan sebagai berikut: 

“kalau saya punya usaha penyewaan lapangan futsal, jenis pajak apa yang harus saya bayarkan? Terimakasih”

Dalam kesempatan yang ada kemudian @kring_pajak memberikan tanggapan: “HaI, Kak. terkait persewaan lapangan futsal akan dikenakan PPh Final 4 ayat (2) ya, Kak. Hal tersebut diatur dalam Nota Dinas yang diterbitkan tahun 2019. Mohon maaf untuk nomor aturan tersebut tidak bisa kami berikan dikarenakan merupakan aturan internal kami. Tks*Onie”.

Namun sepertinya beberapa orang yang ikut bertanya merasa belum puas dengan jawabannya. Karena fikus tidak memberikan jawaban dengan dasar hukum yang jelas. “Khawatir Yang Begini-Begini, Aturanya Seperti Polisi Sembunyi Di Balik Pohon Zaman Itu, Kl Mau Nilang Dan Menunggu Rakyat Salah Baru Di Keluarkan” sahut salah satu netizen.

“Sesuai penjelasan sebelumnya, Nota Dinas bersifat penegasan. Ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2017.” dijawab kembali oleh @kring_pajak.

Penulis juga belum menemukan argumentasi yang jelas dari fiskus untuk menjawab logika berfikirnya pihak B yang menganggap bahwa penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan yang di maksud adalah positive list (yang dikenakan pph final pasal 4 ayat 2 hanya yang tertera dalam pasal tersebut saja). Namun memang jika kita melihat dari PP 34/2017 pasal terkait persewaan tanah dan/atau Bangunan berubah menjadi  “persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan”. Dengan pasal tersebut tidak ada lagi perincian tanah dan bangunan, sehingga fiskus menganggap atas sewa lapangan olahraga merupakan objek pph pasal 4 ayat 2.

Jadi menurut kalian, transaksi sewa atas sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2 atau pph Pasal 23? Tuliskan tanggapan anda di kolom komentar ya. 

 

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
  • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996
  • Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017

Topik: Pajak sewa lapangan, dispute, PP 29/1996, KMK 394/1996, KEP 227/2002, UU 36/2008, PP 34/2017 PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 23

...

Perbedaan interpretasi objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga part 1

Persoalan pengenaan pajak atas transaksi sewa lapangan olahraga seperti: sewa lapangan futsal, sewa lapangan badminton, sewa lapangan tenis, atau sewa lapangan olahraga lainnya, dianggap masih belum menemui titik terang yang jelas. Muncul perbedaan interpretasi dalam memandang objek pajak penghasilan atas transaksi sewa lapangan olahraga. Terdapat pihak yang menganggap bahwa transaksi sewa lapangan olahraga merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, sementara pihak lain memandang bahwa transaksi sewa lapangan olahraga bukan merupakan objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2, melainkan objek pajak penghasilan pasal 23 atau PPh final PP 23/2018 untuk WP tertentu. 

Pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba memaparkan sudut pandang dari kedua belah pihak tersebut yang kemudian dapat disimpulkan untuk digunakan para pihak dalam mengambil keputusan. Penulis akan membagi kedua pihak dengan penjelasan sebagai berikut:

  • Pihak A - Pihak yang setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2
  • Pihak B - Pihak yang tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2

Argumentasi Pihak B

Dasar alasan pihak B tidak setuju sewa lapangan olahraga termasuk objek pph pasal 4 ayat 2 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 pasal 1 yang terakhir diubah ke Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017, karena dalam pasal tersebut merupakan positive list. Bunyi pasal 1 "Atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa: 

  1. tanah 
  2. rumah
  3. rumah susun
  4. apartemen
  5. kondonium
  6. gedung perkantoran
  7. toko 
  8. rumah toko 
  9. gudang dan 
  10. dan industri wajib dibayar Pajak Penghasilan" (PPh final pasal 4 ayat 2)

Karena lapangan olahraga tidak ada dalam list pasal 1 tersebut maka sewa lapangan olahraga termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008. 

Pihak B bukan tanpa alasan menganggap pasal tersebut merupakan positive list. Pertama, jika bukan positive list kenapa harus dijelaskan tanah dan bangunan berupa 10 list yang disebutkan diatas. Kedua, hal tersebut di kuatkan dengan histori peraturan terkait sebagaimana dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 pasal 1 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002 pasal 2, terdapat penambahan kata-kata yang terhutang pph final (pasal 4 ayat 2). KEP-227/PJ/2002 sampai tulisan ini diterbitkan masih berlaku.

Bunyi pasal tersebut “Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final”. 

Jika bukan positive list kenapa harus ada penambahan kata “pertemuan termasuk bagiannya & rumah kantor” dalam pasal 1 dan 2. Seolah kalimat penjelas dalam bentuk list tersebut tidak bermakna. Dengan adanya penambahan kata-kata tersebut menguatkan bahwa pasal 1 PP 29/1996, KMK 394/1996 dan pasal 2 KEP 227/2002 merupakan positive list. Karena sewa lapangan olahraga juga tidak masuk dalam rincian pasal tersebut maka atas sewa lapangan olahraga bukan termasuk objek pajak pph final pasal 4 ayat 2, melainkan termasuk transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008.

Argumentasi Pihak A

Dibahas pada tulisan selanjutnya.

 

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
  • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996
  • Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Topik: Pajak sewa lapangan, dispute, PP 29/1996, KMK 394/1996, KEP 227/2002, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 23

...